Perjalanan ke Eropa; Autumn in Amsterdam

Amsterdam
I Am Amsterdam

Dari Istanbul, saya melanjutkan perjalanan ke Amsterdam, Belanda, Selasa (21/10) malam. Saya menumpang maskapai lokal Turki, Pegasus. Kalau di Indonesia, Pegasus ini seperti Lion Air. Maskapai bujet. Kalau saat tiba, saya mendarat di Attaturk International Airport di Istanbul bagian Eropa. Lalu saat meninggalkan Istanbul, saya melalui Bandara Sabiha Gokcen di Istanbul bagian Asia. Bandara Sabiha Gokcen adalah bandara internasional kedua di Istanbul untuk mengatasi membludaknya penumpang di Attaturk International Airport. Perjalanan Istanbul-Amsterdam ditempuh selama kurang lebih tiga jam. Ada perbedaan waktu satu jam antara Istanbul dan Amsterdam. Saya tiba di Bandara Schipol Amsterdam tengah malam.

Di bagian imigrasi, paspor saya tidak langsung dicop. Petugas imigrasi memeriksa lembar demi lembar. Ia lalu membawa paspor saya ke kantor imigrasi yang berada di samping meja petugas imigrasi setelah meminta alamat tempat tinggal saya selama di Eropa. Saya juga menyerahkan surat elektronik dari teman-teman saya di Eropa. Saya disuruh duduk menunggu di kursi di depan kantor imigrasi bandara. Tak hanya saya, satu keluarga lainnya juga mendapat hal serupa. Kemudian saya dipanggil dan ditanya petugas imigrasi beberapa pertanyaan. Berapa lama saya tinggal di Eropa dan di mana saja selama itu.

Saya mengatakan akan tinggal di Amsterdam selama tiga hari kemudian ke Antwerp dan Brussels, Belgia. Lalu ke Berlin dan Dresden (Jerman), Praha (Ceska), dan Paris (Perancis). Saya tidak menyebutkan semua negara dan kota tujuan supaya pertanyaan tidak bertambah. Tak hanya soal tempat tinggal, saya juga ditanya jumlah uang. Saya menyebutkan uang cash yang saya bawa, dan menambahkan saya punya kartu kredit dan kartu debit. Saya menunjukkan tiga kartu ATM, padahal yang isinya lumayan banyak hanya satu. Petugas imigrasi pun percaya saja. Ia tertawa ketika melihat salah satu kartu ATM saya bergambar kincir angin tapi sudah buram. Sembari tertawa ia memberi cop pada paspor saya. Saya pun ikut tersenyum. Bukan saja karena merasa lucu, tapi senang karena saya mendapa cop resmi masuk Belanda.

Saya bergegas menuju tempat pengambilan bagasi dan keluar dari bandara untuk mencari tempat parkir bus yang mengantar ke Amsterdam Central. Suhu terasa lebih dingin dibanding di Istanbul. Dinginnya seperti mengiris-iris kulit dan menembus tulang. Saat tiba, suhu di Eropa memang semakin turun karena sudah pengujung musim gugur. Sebentar lagi memasuki musim dingin. Saya kemudian memasang kaos tangan dan penutup kepala karena hujan rintik-rintik. Hujan baru saja reda ketika tiba di Amsterdam. Itulah yang membuat suhu sangat dingin. Saya menuju tempat parkir bus di lot B9 yang menuju Marnixstraat, jalan dan perhentian bus yang dekat dari apartemen teman saya di Old Amsterdam.

Old Amsterdam
Old Amsterdam

Dalam perjalanan, saya berusaha menghubungi teman melalui Facebook dan Whatsapp, tetapi internet di bus tidak bisa digunakan di smartphone saya. Akhirnya saya mencoba mengirim SMS, tapi tidak berhasil juga karena pulsa saya ternyata tidak cukup. Begitu sampai di tujuan, saya kebingungan karena teman saya tidak ada di stasiun Marnixstraat. Saya mendekat ke halte bus. Di situ duduk seorang pria, tetapi bukan teman saya. Saya mengamati sejenak lalu berusaha meminta bantuannya. Tetapi belum apa-apa ia sudah mengatakan tak akan membantu kalau saya meminta uang. Dengan jengkelnya meski dengan suara kalem, saya menjawab tak butuh uang. Saya hanya butuh bantuan untuk menghubungi teman. Ternyata si bule tak jua mau membantu.

Saya melipir masuk ke minimarket dan menanyakan telepon umum. Kata perempuan yang menjaga minimarket tidak ada telepon umum di minimarket itu. Saya menanyakan di mana ada telepon umum di sekitar tempat itu. Lagi-lagi, katanya tidak ada. Saya akhirnya memberanikan diri meminta tolong meminjam handphone dia untuk menghubungi teman saya. Dia memberikan telepon di minimarket itu. Dengan wajah dingin, dia mengatakan saya boleh menggunakan telepon itu sebentar saja karena telepon milik bosnya. Saya lalu menghubungi teman saya dan memintanya untuk datang menjemput saya di Marnixstraat. Saya pun berterima kasih kepada wanita penjaga minimarket itu lalu keluar. Udara terasa semakin dingin. Dua lapis jaket yang saya kenakan tak mempan.

Sepuluh menit kemudian, teman saya datang bersepeda. Di Amsterdam, kesan pertama saya ketika tiba memang sudah melihatnya sebagai kota yang ramah sepeda. Di mana-mana sepeda terparkir. Sepeda teman saya tak punya boncengan sehingga kami jalan kaki menuju apartemennya selama 15 menit. Apartemen itu berada di kawasan Old Amsterdam. Pusat kota di mana Amsterdam berawal. Karena cukup lelah dan mengantuk, kami hanya mengobrol sebentar, lalu tidur. Presiden RI, Joko Widodo, salah satu bahan obrolan singkat itu.

Kanal di Old Amsterdam
Kanal di Old Amsterdam
Kanal jadi salah satu jalur transportasi di Old Amsterdam
Kanal jadi salah satu jalur transportasi di Old Amsterdam

Hari pertama di Amsterdam, cuaca pagi sangat cepat berubah. Langit gelap meski sudah pukul 08.00 pagi. Selanjutnya rinai hujan turun, sesekali matahari muncul meski malu-malu. Cuaca yang sangat cepat berubah berlangsung hingga tengah hari jadi saya dan teman baru meninggalkan apartemennya yang berada di Laurier Gracth. Kami mengunjungi kawasan Old Amsterdam dengan sepeda. Di mana-mana ada sepeda. Ke mana pun selalu berpapasan dengan pengguna sepeda. Awalnya saya kurang nyaman dengan sepeda yang saya gunakan karena terlalu tinggi buat saya yang kakinya tidak jenjang. Sementara orang-orang Belanda yang saya lihat nyaman-nyaman saja bersepeda. Tapi setelah beberapa lama, saya bisa menyesuaikan diri.

Tujuan pertama kami hari itu adalah patung Multatuli. Penulis Max Havelar. Patung itu berada hanya satu blok dari tempat tinggal saya. Letaknya di atas jembatan yang mengangkangi kanal. Dari situ, kami melewati Anne Frank House, rumah korban Nazi yang kini dijadikan museum. Berjejal orang yang antri untuk mendapatkan tiket masuk ke museum yang penuh sejarah itu. Saya hanya melewatinya karena selain antrian cukup panjang. Tiketnya juga mahal. Kami memacu sepeda menuju Dam Square. Inilah pusat Amsterdam. Di situ ada Grand Palace dengan plaza yang luas. Di sebelahnya Museum Madame Tussaud. Turis sangat ramai di sini. Seperti saya, rata-rata mereka hanya menikmati bangunan itu dari luar dan berfoto di depannya.

Patung Multatuli di Old Amsterdam
Patung Multatuli di Old Amsterdam
Antrian panjang di depan Anne Frank House
Antrian panjang di depan Anne Frank House
Dam Square Amsterdam
Dam Square
Madam Tussaud
Madam Tussaud

Sore hari, kami ke Rijkmuseum. Di Amsterdam memang kaya dengan museum. Museum keju pun ada. Bahkan ada kawasan yang disebut museumplein karena di kawasan itu berdiri banyak museum yang berdekatan. Di depan Rijkmuseum, pengunjung sangat ramai berfoto di big letter ‘I Amsterdam’. Beragam tingkah pengunjung saat berfoto. Ada yang sampai memanjat puncaknya dan berdiri di atas big letter itu. Keceriaan tampak di tempat itu. Sebab matahari bersinar terang dan langit membiru. Dari Rijkmuseum, kami ke monumen perang dunia II. Di sekitar kawasan ini, saya menemukan beberapa restauran Indonesia. Ada restauran Pelangi dan Cafe Tante Roosje.

I Amsterdam
I Amsterdam

Hujan ringan sempat mengguyur saat berada di kawasan ini. Jadi kami masuk di salah satu kafe menikmati teh untuk menghangatkan tubuh. Meski hujan, orang-orang tetap ramai lalu-lalang. Di monumen, turis tetap antusias berfoto. Karena sudah sore, kami meninggalkan tempat itu dan menuju supermarket untuk belanja. Kami membeli sayuran dan ikan untuk makan malam. Teman saya memasak di apartemennya. Makan malam yang sederhana. Kentang dan wortel rebus dengan lauk ikan dimasak dengan bumbu merica dan garam.

Di hari kedua di Amsterdam, cuaca semakin buruk. Sejak pagi, mendung menyelimuti langit Amsterdam. Sesekali hujan ringan. Tetapi kami memutuskan tetap pergi. Tujuan pagi itu adalah Zaandam yang berada di seberang Amsterdam. Di pedesaan ini, satu-satunya komunitas yang masih menjaga keberadaan kincir angin. Kami bersepeda ke sana. Saya baca di travelblog, tempatnya tidak jauh, tetapi dengan bersepeda, rasanya sangat jauh. Apalagi sadel sepeda yang sangat keras menyiksa tulang pangkal paha saya. Sebab “bantalan” saya juga tak empuk.

Ini pertama kalinya saya bersepeda sangat jauh dan melewati desa-desa yang hijau dan rumah-rumah khas Belanda. Setelah satu jam setengah, barulah kami sampai di pedesaan, tempat kincir angin yang masih tradisional berada. Namanya Desa Zaanse Schans. Saya menikmati berada di desa ini, karena sangat tradisional dan tenang. Sangat puas menikmati suasana desa yang masih terjaga, meski dibekap suhu yang sangat dingin.

Jalan masuk Desa Zaanse Schans
Jalan masuk Desa Zaanse Schans
Kincir Angin
Kincir Angin
Toko kejua yang menjual beragam jenis keju. Bisa dicoba lho!
Toko kejua yang menjual beragam jenis keju. Bisa dicoba lho!

Tetapi rumah-rumah itu sudah dijadikan museum atau tempat penjualan oleh-oleh dan souvenir. Saya juga masuk ke toko keju yang menjual beragam jenis keju. Ada sampel yang bisa dimakan dengan gratis. Jadi saya ikut mengantri dan mengambil semua jenis keju. Rasanya enak. Saking sukanya, saya mengantri lagi dan mengambil semua keju yang saya suka. Di ujung desa, ada salah satu rumah yang dilengkapi kincir angin, saya masuk dan menyaksikan tayangan pembuatan kincir angin. Di dalam bangunan kincir angin, seorang pria sedang memotong kayu dengan gergaji yang digerakkan kincir angin.

Hari ketiga saya meninggalkan Amsterdam menuju Antwerp, Belgia, sore hari dengan bus. Namanya Megabus. Bus bujet rendah dari Inggris yang sangat murah. Sering menawarkan tiket promos seharga 1 euro. Tempat parkir bus ini di pinggiran kota Amsterdam. Tapi sangat mudah dijangkau karena dilalui rute trem. Saat menunggu keberangkatan di bawah hujan ringan dan suhu yang sangat dingin, saya bertemu penumpang lain yang “senasib”. Dia berasal dari Turki jadi kami cepat akrab dan mengajak saya berlindung di bawah payungnya. Penumpang tidak dibolehkan masuk ke bus sebelum waktu check-in, jadi kami hanya berdiri di samping bus. Kami harus menunggu sekitar satu jam untuk check-in ke dalam bus lintas internasional itu. Untuk membunuh rasa jenuh dan dingin, kami mengobrol banyak dengan teman baru yang kuliah di Hungaria itu. Percakapan yang hangat karena tujuan kami sama, yaitu jalan-jalan ke sejumlah negara di Eropa.

Bus kemudian meninggalkan Amsterdam pukul 15.00 menuju Antwerp. Pemeriksaan tiket tidak ketat, malah tidak ada sama sekali. Hanya sepuluh orang penumpang yang dibawa bus dua tingkat itu. Di dalam bus, suhu cukup hangat sehingga kami menikmati perjalanan menuju Antwerp, Belgia. Di setiap kursi tersedia colokan listrik sehingga saya bisa mengisi baterai ponsel. Sepanjang perjalanan, ladang-ladang yang hijau menjadi pemandangan yang menyejukkan mata. Rumah-rumah khas Belanda dan lahan pertanian, serta ternak seperti domba, sapi, dan kuda. Sungguh asik melihat pemandangan yang sangat berbeda dengan suasana di Indonesia. Megabus yang saya tumpangi melewati Rotterdam dan meninggalnya perbatasan Belanda tanpa saya ketahui.

 

Bersambung…

(1617)

18 Comments

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.