Pengalaman Solo Traveling di Turki
Traveling di Turki salah satu impian banyak orang dan Turki sepertinya negara yang paling sering saya kunjungi setelah Singapura dan Malaysia. Setidaknya saya sudah tujuh kali ke Turki dan paling sering ke Istanbul. Seingat saya sudah delapan kali di Istanbul. Tahun lalu saja, saya bolak-balik Turki empat kali dan berada di Istanbul lima kali. Ngapain aja selama di Istanbul? Gak bosan?
Saya pertama kali ke Turki tahun 2013. Selama sembilan hari saya di Istanbul dan tinggal di rumah warga lokal. Istilahnya homestay di rumah orang Turki. Cerita homestay di rumah orang Turki ini sudah pernah saya posting sebelumnya. Tahun berikutnya, saya ke Turki lagi dan hanya di Istanbul. Sampai dua kali malah.
Saat itu sebenarnya tujuan utama saya ke Eropa. Jadi ini strategi kalau permohonan visa Schengen saya tidak diterima. Saya beli tiket Singapura-Istanbul pergi-pulang dan tiket Istanbul Amsterdam. Nah, plan B jika permohonan visa Schengen ditolak adalah traveling keliling Turki dan sekitarnya saja. Tetapi, alhamdulillah, visa saya diterima.
Kemudian yang ketiga tahun lalu. Saat saya traveling selama enam bulan di Asia, Eropa, dan Amerika Selatan. Turki menjadi titik tolak petualangan saya. Dan bolak-balik karena letak geografisnya di tengah-tengah. Berada di dua benua. Dari Turki saya bisa ke berbagai negara yang masuk rencana perjalanan.
Terakhir kali saya menjejakkan kaki di Turki akhir Mei tahun lalu setelah traveling di Skopje, Macedonia Utara. Jadi Turki lagi-lagi tempat transit sebelum perjalanan kembali ke Indonesia. Saya singgah dua hari di Istanbul dan selama itu saya banyak santai di Sultan Ahmet Park, taman yang berada di antara Blue Mosque dan Hagia Sophia.
Satu hal yang menarik saat meninggalkan Turki, saya pulang melalui bandara yang berbeda ketika datang. Saya tiba di Turki saat musim dingin awal Januri melalui Bandara Internasional Attaturk. Namun, ketika pulang pada musim semi, saya melalui bandara baru yang lebih besar, New Istanbul Airport.
Bandara yang disebut salah satu yang terbesar di Eropa itu lebih modern dari Bandara Internasional Attaturk. Lokasinya relatif jauh dari pusat kota. Sementara hanya ada bus yang melayani rute ini. Tetapi pemerintah Turki sudah mempersiapkan jalur Metro ke bandara baru ini.
Saat melihat New Istanbul Airport ini, saya benar-benar kagum dan terkesan. Tak sabar rasanya ingin kembali lagi ke Turki suatu saat nanti. Apalagi setelah tahun ini Pemerintah Turki membuat keputusan membuka Hagia Sophia untuk tempat ibadah. Hagia Sophia menjadi tempat pertama yang akan saya datangi jika ke Turki lagi.
Mudah, murah, dan bersahabat jadi alasan saya sering traveling ke Turki, terutama Istanbul. Mudah karena bagi warga negara Indonesia cukup memiliki e-Visa atau VoA sudah bisa masuk ke Turki (up-date 2022: WNI sudah bebas visa masuk Turki). E-visa bisa diajukan online tanpa syarat yang ribet dan cukup bayar 25 USD visa akan dikirimkan ke email beberapa menit kemudian. Sementara VoA bisa didapat setiba di airport. Hanya saja biayanya lebih mahal, 36 USD.
Selain kemudahan mendapatkan visa, ke Turki juga aksesnya gampang. Banyak maskapai tujuan Turki, terutama maskapai dari Timur Tengah seperti Saudi Airlines, Emirates, dan Qatar Airways. Maskapai-maskapai itu sering memberikan harga yang amat murah. Terutama keberangkatan dari Kualalumpur.
Jika sudah mendapatkan tiket ke Turki, yakinlah perjalanan akan menyenangkan karena biaya di Turki relatif tidak mahal. Bayangkan, ketika pertama kali traveling ke Turki, nilai tukar Lira Turki sekitar Rp 5000, eh tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya kurs Lira anjlok hingga Rp 2500.
Untuk beli makanan termasuk minuman saja di warung makan (restoran) bisa mendapatkan harga antara 8-10 Lira. Transportasi pun amat mudah dan relatif murah di Turki sebab pilihan moda transportasi banyak. Terutama di Istanbul. Mulai dari Metro (subway), tram, bus, hingga taksi. Dengan membeli Istanbulkart (jika di Istanbul) atau Bursakart (jika di Bursa), bisa menggunakan beragam transportasi. Bahkan untuk membayar tiket fero. Tarifnya lebih murah dengan menggunakan kartu daripada beli tiket ketengan.
Tarif hotel/hostel di Turki pun relatif murah. Untuk kelas backpacker seperti saya, bisa lho mendapatkan hostel dengan tarif Rp 100 ribuan permalam di kawasan yang sangat strategis. Di Istanbul, banyak hostel murah yang lokasinya persis di belakang Blue Mosque dan Hagia Sophia. Di area itu banyak juga cafe-cafe dan restoran.
Dari kawasan yang disebut Fatih ini, mudah ke berbagai objek wisata utama di Istanbul. Bisa jalan kaki saja karena banyak objek wisata dan tempat menarik yang saling berdekatan. Bahkan jika ingin menyeberang ke Istanbul bagian benua Asia. Bisa melalaui tiga jembatan. Paling terkenal dan paling dekat dari kawasan Fatih yaitu Jembatan Bosphorus yang melintang di atas Selat Bosphorus.
Jika ingin sensasi yang lain, bisa menyeberang melintasi Selat Bosphorus dengan kapal yang berangkat tiap saat. Banyak warga Istanbul yang memilih naik feri karena perjalanannya lebih singkat dan pastinya gak ada kemacetan. Kapal feri ini bolak-balik ke beberapa pelabuhan tujuan di sisi Asia. Jadwalnya hingga malam. Jadi selama di Istanbul, jangan lupa menjelajahi sisi Asianya, sebab banyak juga tempat menarik di sana.
Menariknya, Metro di Istanbul sudah punya jalur yang menghubungkan sisi Benua Asia dan Benua Eropa. Jalur itu melalui terowongan bawah laut Selat Bosphorus. Jadi jika menggunakan metro dari sisi Eropa, tak begitu terasa sudah sampai di sisi Asia. Hanya saja pada jam-jam tertentu harus siap-siap tak mendapatkan tempat duduk dan terpaksa berdiri karena penumpang padat. Jangan khawatir bakal bete, banyak pemandangan indah kok di metro. Salah satunya iklan Indomie 🙂
Nah, hal lain yang membuat saya senang traveling di Turki adalah kesannya yang bersahabat buat pemegang paspor hijau. Di imigrasi, petugas imigrasi ramah kepada orang Indonesia. Di bazaar mereka juga kadang menyapa dengan bahasa Indonesia. Tapi jangan coba-coba menanggapi cowok atau cewek Turki yang sok akrab saat jalan-jalan. Mereka biasanya mengajak ke cafe atau night club. Terutama di Istanbul. Sebab Istanbul tak lepas dari scamming.
Kesan bersahabat di Turki yang juga saya dapatkan adalah mudahnya mendapatkan makanan halal dan menemukan masjid di setiap sudut kota. Yah, seperti Indonesia, muslim juga mayoritas di Turki. Jadi kalau traveling ke mana saja, tidak usah khawatir dengan makanan dan tempat ibadah. Pasti ketemu.
Begitu juga di luar Istanbul, seperti Bursa, Izmir, dan Pamukkale. Kesan dan pengalaman yang hampir sama saya dapatkan. Transportasi, hostel/hostel, makanan, dan tempat ibadah tidak perlu lagi dikhawatirkan. Apalagi jika ada kenalan orang Turki, perjalanan makin mudah dan mengesankan. Membuat ingin kembali dan kembali lagi ke Turki. (*)
(5994)
Assalamualaikum…kalau masuk eropa dengan visa schengen lewat turki apakah jatuhnya lebih murah? Sy pernah ke eropa barat tapi langsung dari jakarta, mahal…
Waalaikum salam. Maaf baru balas. Lebih murah sih kalau langsung ke Eropa.
bg ini fitri, boleh minta nomor WA ?
DM di Instagram ya. IG saya @ahmadi_sultan
Mas nya kerja atau apa kok bisa keliling dunia dengan santainya .jadi pengen jelajah juga. Terima kasih
Kerja dulu, kumpulkan uang baru keliling dunia dengan santai. Kamu pun bisa. Yuk bisa yuk!
Assalamualaikum, untuk travelling ke turki di masa pandemi seperti ini apa saja yang perlu dipersiapkan, dan apakah transportasi moda pesawat atar kota di turki memerlukan hasil tes covid?
Sekarang syarat perjalanan terkait Covid-19 sudah ditiadakan. Untuk PCR tergantung maskapai saja. Kalau asuransi itu pilihan.
Pagi,ke Turkiye pergi sendiri wajib/tidak wajib ada asuransi perjalanan kak ?
Tidak wajib sih ada asuransi, tetapi disarankan.