Wisata Jejak Tsunami di Kota Banda Aceh
Tsunami yang menerjang barat Aceh belasan tahun silam meninggalkan banyak jejak dan perubahan yang baik. Jejak-jejak itu masih bisa dilihat hingga kini. Terutama spot yang kini jadi tempat tujuan wisata dan museum. Ada yang dipertahankan sebagai pengingat. Ada yang dibuat untuk mengenang mereka yang menjadi korban. Ada yang dibangun sebagai tempat belajar. Wisata tsunami Aceh.
Aceh di utara Pulau Sumatra memang kawasan terparah yang dilanda gelombang raksasa tsunami. Ada beberapa obyek wisata yang menarik dikunjungi sambil mengenang peristiwa tsunami di wilayah Banda Aceh dan Aceh Besar 13 tahun silam. Selama dua hari, saya mengunjungi tempat-tempat yang berkenaan dengan bencana Tsunami itu di Kota Banda Aceh.
Matahari sangat terik ketika saya tiba siang menjelang sore di Kota Banda Aceh. Langit membiru dan awan putih seperti tumpukan kapas berserak menghiasinya. Begitu sampai di pusat kota, tujuan pertama adalah Museum Tsunami Aceh. Sinar matahari yang ganas membuat saya bergegas melangkah masuk area museum. Lalu berteduh di pinggiran tembok sambil menunggu pintu masuk dibuka.
Museum ini dibangun untuk mengenang peristiwa dahsyat yang pernah melanda Aceh pada 26 Desember 2004. Museum ini berada di pusat Kota Banda Aceh. Tepatnya di Jalan Iskandar Muda. Hanya sekitar 500 meter dari Masjid Raya Baiturrahman dan berdekatan dengan Lapangan Blang Padang. Dari luar bangunan Museum Tsunami Aceh sangat artistik. Dinding lengkungnya berupa relief geometris yang sederhana nan indah.
Bangunan museum ini terdiri dari empat lantai. Setelah melewati pintu, saya dan pengunjung lainnya masuk ke lantai dua. Kami masuk ke bioskop mini dan menyaksikan tayangan kejadian tsunami yang meluluh lantakkan sebagian Aceh. Meski sudah belasan tahun, tetapi tayangan itu tetap saja membuat dada sesak dan air mata nyaris tumpah.
Untung saja tak lama. Malu kalau air mata meleleh dan dilihat pengunjung lain. Saya melanjutkan ke ruang pertama yang biasanya disinggahi pengunjung. Ruang renungan. Memang bagi pengunjung umum sudah ada alur atau urutan ruang yang pertama dan seterusnya untuk dikunjungi. Ruang renungan ini berupa lorong sempit dan remang. Pada kiri dan kanan dinding lorong air mengalir dan suaranya memecah kesunyian. Tidak dahsyat tetapi menimbulkan aura mencekam.
Suara air dan cahaya yang temaram itu seakan menggambarkan suasana mencekam saat tsunami terjadi. Menggambarkan perasaan masyarakat Aceh ketika mengalami bencana tsunami. Di antara suara air mengalir, sayup-sayup terdengar suara Azan. Keheningan tercipta dan semakin mendekatkan pada perenungan. Mengingatkan pada dahsyatnya bencana tsunami yang merenggut ratusan ribu nyawa.
Usai melewati ruang renungan, lorong itu menuntun ke ruang berkaca yang disebut Memorial Hill. Di ruang ini ditampilkan foto-foto tragedi tsunami yang mengerikan. Dilengkapi dengan monitor untuk mengakses informasi. Ruang berikutnya adalah Space of Sorrow atau ruang The Light Of God. Ruang berbentuk sumur silinder yang menyorotkan cahaya remang-remang.
Pada dinding terpasang nama-nama korban tsunami yang tewas dalam peristiwa memilukan itu. Mata terus mengikuti nama-nama yang tertulis dan membawa padangan ke langit-langit ruang. Pada puncak ruangan terlihat kaligrafi Arab bertuliskan Allah.
Memutar keluar dari ruang silinder tersebut kaki melangkah menuju Jembatan Harapan (Hope Bridge). Ketika melangkah di atas jembatan ini, di langit-langit terlihat bendera 52 negara. Mereka yang mengulurkan bantuan bagi Aceh. Melalui jembatan ini, pengunjung seperti melewati air tsunami menuju ke tempat yang lebih tinggi dan sampailah pada ruang foto dan diorama. Foto yang merekam kehancuran pascagelombang tsunami dan diorama yang mereka ulang tsunami Aceh. Terakhir adalah ruang multimedia di lantai tiga.
Museum PLTD Apung
Museum kedua yang merekam jejak Tsunami Aceh adalah Museum PLTD Apung. Awalnya kapal itu berfungsi sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) untuk wilayah Ulee Lheue. Kapal seberat 2.600 ton tersebut kemudian terseret gelombang laut saat tsunami Aceh 2004 terjadi. Terhempas hingga lima kilometer dari Pantai Ulee Lheue, Banda Aceh, ke daratan.
Kini, kapal sepanjang 63 meter itu terdampar di Gampong Punge Blang Cut, Jaya Baru, Banda Aceh. Sudah 13 tahun ia berada di desa tersebut dan tidak akan dipindahkan lagi. Sebab ia telah dijadikan monumen peringatan tsunami Aceh. Ia kerap dikunjungi oleh wisatawan dan menjadi tempat wisata populer di Banda Aceh.
Melihat ukuran dan mengetahui berat kapal ini membuat tercengang ketika menatapnya teronggok di tengah perkampungan. Saya sedikit menjauh dari Museum PLTD Apung dan membiarkan khayalan saya bermain. Sungguh dahsyat gelombang yang membawanya. Sementara pengunjung yang ramai seolah lupa yang terjadi dengan kapal itu. Mereka naik ke atas kapal. Mengitari geladaknya. Lalu berswafoto dengan mimik yang dibuat-buat.
Memang sudah ada tangga yang dibuat untuk memudahkan pengunjung naik ke atas kapal. Ada pula menara dan jembatan yang menghubungkan ke kapal. Dari kapal bagian paling atas kapal, pengunjung bisa melepaskan pandangan kota Banda Aceh dan sekitarnya. Kalau ingin melihat objek lebih dekat, bisa menggunakan teropong. Bila melihat ke utara, maka tersaji luasnya Samudera Hindia, ke selatan dan timur ada Kota Banda Aceh, dan ke arah barat ada kota dan perbukitan.
Di area museum telah dibangun taman edukasi yang dilengkapi informasi dan foto mengenai tsunami. Juga dibangun monumen peringatan atau prasasti di dekat pintu masuk. Pada monumen itu, tertera tanggal dan waktu kejadian musibah tsunami yang juga menimpa beberapa negara selain Indonesia. Tepatnya pada jam bundar yang merujuk angka 07.55 WIB. Di bawahnya, pada prasasti tertulis nama-nama desa dan korban jiwa. Di sekeliling monumen, dibangun dinding dengan relief menyerupai gelombang air bah.
Kapal di Atas Rumah
Kapal lainnya yang menjadi bukti kedahsyatan gelombang tsunami adalah Kapal Nelayan di Lampulo. Wisatawan mengenalnya dengan nama Kapal di Atas Rumah. Yah, kapal nelayan ini memang terhempas gelombong Tsunami Aceh 2004 dan terdampar di atas rumah penduduk. Tepatnya di Gampong Lampulo, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh.
Kapal kayu itu panjang 25 meter. Ia terseret hingga tiga kilometer dan “berlabuh” di rumah Ibu Abasiah yang selamat dari bencana tsunami. Kapal ini kini menjadi obyek wisata. Ibu Abasiah masih tinggal di dekat bekas rumahnya itu dan ia rajin menjadi tour guide dadakan. Saat saya datang sore-sore, ia mendekati kami dan tanpa diminta langsung menceritakan kejadian yang merenggut nyawa sebagian keluarganya. Sementara Abasiah dan 58 orang lainnya selamat karena kapal itu.
Posisi kapal dan bentuk reruntuhan rumah Abasiah tetap dipertahankan. Ada penyanggah dari baja agar kapal tidak jatuh karena puing rumah yang tak kuat menahannya. Untuk melihat kapal secara keseluruhan, di dekatnya dibangun menara pandang setinggi lima meter.
Sementara ruang-ruang bekas rumah dibiarkan seperti aslinya. Salah satu ruang di lantai dua dijadikan museum mini. Di dalamnya ada foto-foto yang merekam kerusakan Aceh pascatsunami. Pengunjung juga bisa melihat, nama nama orang korban tsunami terpampang di ruangan sederhana itu.
Di depan ‘monumen’ ini ada prasasti. Plakat itu bertuliskan tiga bahasa yaitu Aceh, Indonesia dan Inggris. Tertulis, “Kapal ini dihempas oleh gelombang tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 hingga tersangkut di rumah ini. Kapal ini menjadi bukti penting betapa dahsyatnya musibah tsunami tersebut. Berkat kapal ini 59 orang terselamatkan pada kejadian itu”.
Kuburan Massal Siron
Setelah museum dan monumen, tempat terakhir yang saya kunjungi Kuburan Massal Siron. Lokasinya di Desa Siron, Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar. Di lewati ketika dari dan ke Bandara Sultan Iskandar Muda. Makanya saya menutup kunjungan di kuburan massal ini sebelum meninggalkan Aceh.
Kuburan Massal Siron ini kuburan para korban bencana tsunami. Tercacat lebih 40 ribu jiwa yang dimakamkan di sini. Tetapi ketika saya berada di Kuburan Massal Siron, tak ada kesan seram, angker atau suasana mistis yang sering digambarkan pada tempat pemakaman. Tidak ada gundukan-gundukan tanah atau batu nisan yang berjejer. Hanya hamparan rerumputan hijau dan pepohonan rindang layaknya taman.
Memang puluhan ribu korban tsunami itu dimakamkan dalam satu lubang besar di dalam lahan seluas dua hektar. Jadi hanya terlihat hamparan rumput. Hamparan lahan itu terbagi dua oleh jalan setapak yang ditutupi paving blok berbentuk hexagon. Di ujung kuburan ada Monumen Tsunami yang dibangun menyerupai gelombang setinggi 15 meter. Bercat putih dan sedikit warna biru pada ornamennya yang menyerupai gulungan ombak. Monumen ini menggambarkan gelombang tsunami yang kala itu menghancurkan Aceh.
Jalan-jalan di antara pekuburan ini terasa tenang dan damai. Seolah ingin menyampaikan pesan bahwa mereka yang telah dikuburkan di sini sudah tenang di alam sana. Semoga!
Baca juga: Snorkeling di Sabang, Aceh
(302)
Kerennn Museumnya, akan menjadi saksi sejarah akan peristiwa tsunami Aceh dan menjadi pelajaran hidup yang sangat berharga
Iya keren banget. Fungsinya juga bukan sebagai museum, pengingat dan tempat belajar lho! Museum itu juga jadi area berkumpul kalo terjadi sesuatu.
Seandainya bisa ke aceh, pengen bisa mengunjungi ini juga
Wajib tuh kalo berkunjung ke Aceh, lihat dan belajar di objek-objek jejak Tsunami 🙂
Ada daftar nama-nama korban ya, di museum Nanjing Massacre juga ada, tapi mereka buat rak setinggi dinding, dan di rak itu ada map-map data nama-nama korban
Iya namanya dipasang di dinding dan sampai ke puncak dinding.
Bakalan hujan emosional banget kalo bisa berkunjung kesini.
Iya banget. Terbayang duka dan kengerian saat kejadian!