Perjalanan ke Eropa, Menelusuri Jejak Perang Dingin di Berlin
Ini adalah bagian dari tulisan perjalanan saya di Eropa. Beberapa bagian telah saya posting sebelumnya . Kali ini ceritanya mengenai kunjungan di Berlin, Jerman. Saya mengunjungi Berlin setelah dari Brussel, Belgia. Saya menumpang bus Eurolines.
Perjalanan dengan bus Eurolines dari Brussels ke Berlin ditempuh sekitar sepuluh jam. Bus ini tiba sekitar pukul 09.00 waktu Berlin di Berlin ZOB Am Funkturm. Terminal bus antarkota maupun antarnegara di Berlin. Begitu turun dari bus, suhu dingin langsung menyergap. Saya bergegas mengenakan jaket lagi. Karena dingin, seringkali harus ke toilet untuk buang air kecil. Begitupun ketika saya baru tiba di Berlin.
Masuk ke toilet tidak bisa sembarangan. Harus bayar dulu sebelum pintu otomatis terbuka. Saya memasukkan 50 cent Euro seperti yang disebutkan di mesin otomatis. Pintu pun terbuka. Tetapi pintu dalam hitungan beberapa detik saja kembali terkunci. Saya pun tidak bisa masuk dan uang saya sudah ditelan mesin. Saya mencoba menggedor-gedor pintu itu tapi tak berhasil. Akhirnya saya harus memasukkan 50 cent Euro lagi untuk membuka pintu toilet. Untuk buang air kecil saja, saya harus membayar sekitar Rp15 ribu.
Hari saya tiba di Berlin, matahari baru sepenggalan. Saya harus menunggu sampai pukul 14.00 untuk datang ke rumah teman yang akan saya tumpangi apartemennya di distrik Schoneberg. Sebab hari itu dia ada meeting. Saya pergi ke apartemennya dengan petunjuk yang diberikan sebelumnya. Saya menumpang U-Bahn, sejenis MRT kalau di Singapura.
Di Jerman, selain U-Bahn ada S-Bahn. Bedanya, U-Bahn beroperasi di bawah tanah, sementara S-Bahn di atas meski kadang berhenti di stasiun bawah tanah juga. Sangat mudah menjangkau berbagai tempat di Berlin dengan U-Bahn maupun S-Bahn, meski baru pertama kali di Berlin seperti saya. Semua petunjuk jelas.Tiket sekali jalan di zona AB 2,60 Euro. Saya membeli tiket di mesin otomatis.
Berbekal alamat yang diberikan, saya sampai di apartemen teman saya. Tetapi harus menunggu tiga jam, sehingga saya memilih masuk ke kafe yang menjual berbagai macam roti dan minuman. Di situ saya berjam-jam menunggu sekalian makan siang. Pukul 14:00, saya akhirnya bertemu teman di apartemennya. Saya beristirahat sekitar satu jam, kemudian kami keluar.
Teman saya mengajak ke bar dekat rumahnya. Ia memesan bir, sementara saya memesan soft drink. Hari itu kami hanya menghabiskan waktu di bar karena orang-orang jarang yang beraktivitas di luar setelah pukul 17.00. Selain malam cepat datang, cuaca yang dingin membuat tak betah lama-lama di luar. Bar pun jadi tempat pelarian.
Hari kedua, saya mulai mengeksplorasi Kota Berlin. Saya sudah janjian dengan teman baru yang kuliah di salah satu universitas di Berlin. Namanya Rasmus Roslund. Pemuda berusia 21 tahun. Hari itu, ia tidak ada kuliah tetapi akan belajar di perpustakaan universitas lainnya. Teman dari Swedia ini mengajak bertemu di stasiun Friedrichstrat di Distrik Mitte. Distrik ini pusat objek wisata di Berlin.
Kami sangat cepat akrab meski baru pertamakali bertemu. Ia langsung mengajak ke Brandenburg Tor. Gerbang kota di Berlin. Lokasi ini menjadi tempat perayaan penyambutan ketika Tim Nasional Jerman memenangi Piala Dunia 2014. Tak jauh dari Brandenburg Tor itu ada museum Madame Tussaud. Belok sedikit ada Bundestag atau Reichstag, gedung parlemen Jerman.
Saya benar-benar beruntung hari itu karena tanpa sengaja saya mendapati Walikota Berlin sedang menemani rombongan tamu dari Jepang. Ia menemani rombongan itu melihat-lihat Brundenburg Tor. Tidak semua orang tahu, meski saat itu pengunjung sangat ramai. Bahkan teman saya tidak menyadarinya sampai saya memberitahukan. Tetapi rombongan Walikota sudah pergi saat ia mengejar untuk melihatnya.
Akhirnya kami memutuskan ke Bundestag. Gedung parlemen yang memiliki kubah transparan sehingga bisa melihat distrik Mitte atau Middle dalam bahasa Inggris. Turis bisa masuk berkunjung dan naik ke kubah itu tetapi perlu memesan tiket sebelumnya melalui email. Kami tak punya sehingga hanya bisa melihat dari luar dan menyaksikan pengunjung yang ramai di dalam kubah Bundestag.
Di dekat Bundestag itu ada taman peringatan Memorial to The Sinti and Roma of Europe Murdered under the National Socilaist Regime. Korban genosida oleh Nazi. Memasuki taman ini suasananya terasa mencekam. Kami pun berbegas meninggalkannya setelah melihat-lihat di dalamnya. Kami menuju Checkpoint Charlie. Semua tempat kami datangi dengan berjalan kaki karena berdekatan. Checkpoint Charlie adalah pintu perbatasan saat perang dingin dan Jerman terbagi dua.
Di situ masih ada tentara yang bersedia berfoto dengan turis dengan membayar 2 Euro. Tentunya mereka bukan tentara asli. Ada pos jaga tentara lengkap dengan stempel paspor jika melewati perbatasan itu. Semua itu dipertahankan sebagai atraksi bagi turis. Tak jauh dari situ ada Museum Haus Am Checkpoint Charlie dan Berlin Wall. Sisa-sisa tembok Berlin yang dulu membatasi Berlin Barat dan Berlin Timur maupun Jerman Barat dan Jerman Timur.
Karena malam cepat datang, kami segera meninggalkan Checkpoint Charlie. Kami menuju perpustakaan Humboldt Universtity of Berlin di Friedrichstrat. Tak jauh dari tempat kami bertemu pertama kali. Saya juga ikut ke perpustakaan itu karena lebih hangat di dalam. Kami menyimpan barang bawaan di loker, lalu masuk ruang perpustakaan, tapi saya tak kebagian tempat duduk. Kami berbisik ketika berbicara karena tidak boleh berisik. Saya akhirnya duduk- duduk di lobi perpustakaan yang dilengkapi kafe itu, sembari membaca buku Lonely Planet Berlin. Kami menghabiskan waktu hingga malam di perpustakaan itu sampai kami harus berpisah.
Hari berikutnya, cuaca lebih dingin di Berlin karena sejak pagi langit mendung. Hanya warna kelabu yang menggantung di langit. Saya pun memutuskan hanya mengunjungi beberapa tempat yang belum sempat saya datangi sehari sebelumnya. Saya pergi sendiri ke Potsdamer Plazt, di salah satu simpang jalan tersibuk di Berlin itu ada sisa-sisa tembok Berlin dipajang. Meski masih pagi, ternyata sudah banyak turis yang datang berkunjung dan berfoto bersama tentara seperti yang jaga di Checkpoint Charlie.
Dari Postdamer Plazt, saya ke Alexander Plazt. Tempat menara televisi yang kini juga menjadi ikon Kota Berlin. Lalu ada Red City Hall atau The Rotes Rathaus dalam bahasa Jerman. Bangunan ini berwarna merah bata. Dibangun antara tahun 1861-1869. Saya hanya sebentar di tempat ini karena harus kembali ke apartemen teman saya untuk mengambil koper untuk berangkat lagi ke kota lainnya. Tiket untuk berangkat saya beli sehari sebelumnya secara online sehingga sangat murah.
Harga tiket standar ketika dibeli di konter penjualan tiket 18 Euro, namun saya mendapatkannya hanya 6 Euro melalui pembelian secara online. Bus berkapasitas 56 kursi yang saya tumpangi berangkat tepat waktu meski hanya lima orang penumpang yang dibawa.
(630)
Wah, belum sempet mampir kesini.. Keren juga yah tempatnya..
Oh ya! ayo traveling lagi. bawa sikecil supaya tahu betapa luasnya dunia ini dan betapa indahnya 🙂