Bertandang ke Rumah Mozart di Vienna
Ada dua rumah utama komponis dunia Wolfgang Amadeus Mozart di Austria. Rumah pertama berada di kota kelahirannya Salzburg. Rumah kedua -salah satu dari 14 apartemen yang pernah ditinggali- di Vienna, ibukota Austria. Kedua rumah itu kini jadi museum. Saya mengunjungi rumah Mozart atau Mozarthaus yang berada di kota tua Vienna.
Mozarthaus Vienna itu bekas apartemen yang dijadikan tempat tinggal Wolfgang Amadeus Mozart tahun 1784-1787. Apartemen itu berlokasi di belakang gereja bersejarah, Katedral St Stephen, kawasan kota tua Vienna. Dari halaman gereja itu, pengunjung tinggal berjalan kaki melewati jalan di sisi kanan gereja dan melalui gang sekitar 100 meter.
Tak jauh melangkah, saya menemukan jalan sempit dan pendek, namanya Domgasse. Di situlah rumah Mozart yang kini dijadikan museum Mozart. Dari luar, tidak ada yang istimewa atau membedakan bagian depan apartemen itu dengan bangunan-bangunan lain di sepanjang gang sempit tersebut.
Hanya ada papan tulisan ”Mozarthaus Vienna” menyempil kecil di sebelah kiri pintu utama. Tak ada foto atau atribut lainnya yang berhubungan dengan Mozart di bagian depan apartemen itu. Pengunjung dikenai biaya masuk 11 euro, sudah termasuk biaya panduan audio yang memaparkan kehidupan sang komponis akbar di apartemen itu.
Dengan audio tersebut, pengunjung tinggal memencet angka pada obyek yang dipamerkan dan mendengar informasi lewat alat itu. Penjelasan disampaikan dalam berbagai bahasa. Termasuk bahasa Jepang. Sayangnya hanya tak ada bahasa Indonesia.
Apartemen Mozart memiliki enam lantai. Saat tinggal bersama keluarganya antara September 1784-April 1787, Mozart menempati lantai satu. Lantai inilah yang direkonstruksi para ahli museum Austria dengan berupaya mendekati aslinya. Di pintu masuk lantai itu, pengunjung disambut tulisan berbahasa Jerman yang terjemahan bahasa Inggrisnya berbunyi:
”This afternoon I am not at home, therefore I pray you to come tomorrow at 3.30.” Itu adalah pesan Mozart kepada murid-muridnya yang belajar musik setiap hari di apartemennya jika ia sedang bepergian. Lantai satu apartemen itu dibagi dalam delapan ruang untuk ruang tamu, ruang makan, ruang belajar, kamar tidur, dapur, dan lain-lainnya.
Dari informasi yang tersedia, di lantai ini tamu Mozart dari berbagai kalangan berdatangan hampir setiap hari. Maklum, pada saat itu, Mozart mengalami masa-masa kejayaannya dan hidup seperti selebriti. Ia rutin mementaskan karya-karya musiknya lewat konser yang diapresiasi warga kelas atas Kota Vienna.
Museum ini lebih lengkap dan menarik dibandingkan Mozarhaus yang di Salzburg, karena Mozart lebih banyak menghabiskan hidupnya di Vienna untuk meniti karier. Di rumah inilah Mozart menulis opera terkenalnya, “Marriage of Figaro”. Menarik mengikuti penjelasan melalui audio guide-nya, juga display museumnya itu tidak membosankan, jadi ikut masuk ke dalam ceritanya disertai lagu-lagu Mozart.
Berbagai informasi seputar kehidupan pribadinya juga disajikan. Mulai dari yang ”agak miring” seperti kegemaran Mozart berbelanja barang mewah dan berjudi. Ada juga cerita sedih Mozart saat meninggalnya empat dari enam anaknya. Pengunjung disuguhi alunan karya terkenal ”The Magic Flute” lewat panggung mini berbentuk mirip aquarium. Masih banyak lagi sisi-sisi kehidupan Mozart dikupas di museum tersebut.
Meski hanya ditempati tiga tahun dari hidupnya yang singkat (Mozart meninggal pada usia 36 tahun), apartemen itu dinilai cukup bersejarah. Di tempat itu, Mozart melahirkan karya-karya monumental, antara lain Le nozze di Figaro (Pernikahan Figaro). Itu sebabnya apartemen tersebut sering dinamai ”Figarohaus” (Rumah Figaro).
Mozart bercerita, saat menulis karya itu ia rata-rata menghasilkan enam halaman berisi 12 baris nada-nada musik per hari. Proses kreatifnya lebih sering datang pada pagi hari meski ia sering bekerja hingga larut malam. ”We do not retire until midnight and rise at 5.30 or even 5 o’clock,” begitu tulisan Mozart yang terpampang di dinding ruangan tidurnya.
Di MozartHaus ini di pamerkan pula bukti–bukti bahwa Mozart benar–benar Freemason. Ada sarung bantal, bendera, barang-barang yang berlambangkan bintang David, lalu surat-surat Mozart ke Freemason. Mulai dari surat yang berisi permintaan meminjam uang karena dililit kondisi keuangan sampai persetujuan ayah Mozart tentang keikutsertaan dalam Freemason.
Di museum juga dipaparkan mengenai opera terakhir Magic Flute, di akhir usianya Mozart saat aktif di Freemason. Ternyata opera ini penuh dengan lambang-lambang Freemason. Apalagi soal Requiem misterius yang dibuat Mozart menjelang ajal. Mengenai penyebab kematian Mozart masih misteri. Tetapi di museum semua ditunjukkan bukti-bukti sampai otopsi dokter.
Begitulah Mozart, komponis agung yang namanya masih terkenal hingga kini. Tiga ratus enam delapan tahun sesudah meninggalnya, ia masih bisa bercerita kepada generasi zaman kini. Termasuk kepada saya yang banyak belajar dari kunjungan di museum itu. Karyanya masih terngiang-ngiang di telinga setelah meninggalkan museum.
(823)
Wah Bang Uma keren deh bisa berkunjung ke rumah Mozart. Aluan instrumentalnya saya suka banget nih, karena bikin lebih produktif kalau lagi ngeblog sambil dengerin musiknya. Bagus banget tempatnya!
Iya banget, apalagi saya juga suka musik klasik, jadi meresap banget ke dalam kalbu. hehehe
Bang mahal gak tu kalau beli rekaman karya mozart di museumnya? Hehehe
Aduhhh aku gak perhatiin, harga-harga di toko museumnya. Soalnya, tujuannya benar-benar berkunjung. Bukan belanja. Hehe
Lengkap banget ya musiumnya. Dan bang Ahmadi pemaparannya juga jelas. Jadi berasa seperti lagi di sana.
Ya museum-museum di luar itu menarik banget karena lengkap.
Wah, keren banget ya.
Iya keren banget. Yang berkunjung juga keren 🙂
Keren bang Uma..bisa keliling eropa..apalagi bisa singgah ke rumah mozart..fotonya keren abis..
Haha, gak keliling Eropa itu. Hanya beberapa negara saja. Ya kalo ke Vienna trus gak kunjungi rumah mozart ya rugi sih 🙂
Wow! Seru banget ya bisa berkunjung ke Rumah Mozart. Tampak depannya biasa banget ya, tulisan di samping pintu masuk juga kecil.. Tapi ternyata bagian dalamnya lengkap juga..
Iya. Jalan ke sananya malah kecil banget, cuma semacam lorong-lorong di antara bangunan apartemen. Nah di dalamnya bagus.
Kesukaan akan Musik klasik di urop sana mungkin sama kayak gamelan di Jawa ya?hihi
Ya seperti itulah. Bagi orang-orang Eropa musik klasik itu selera tertinggi dalam musik 🙂