4 Hari Traveling di Yogyakarta, Kurang Puas
Selama empat hari saya traveling di Yogyakarta. Saya sengaja berlama-lama karena ingin memuaskan diri menikmati Kota Gudeg ini. Pada hari pertama, saya bernostalgia di sekitaran Malioboro. Nah, hari kedua di Yogyakarta saya merencanakan untuk mengunjungi tempat-tempat bersejarah dan ikonik yang belum sempat dikunjungi ketika pertama kali traveling di Yogyakarta.
Sebagian sekitar Malioboro dan selebihnya agak jauh, bahkan sudah di luar Kota Yogyakarta. Seperti kebiasaan, saya tidak pernah memulai penjelajahan dari pagi-pagi banget. Karena saya tipikal traveler yang santai. Tidak mengejar destinasi sebanyak-banyaknya.
Seperti hari pertama, saya meninggalkan hostel saat jarum jam sudah lewat angka sepuluh. Saya mengambil jalan singkat dari hostel ke Pasar Beringharjo melewati gang dan melintasi rumah rumah warga. Tujuan pertama saya Museum Sonobudoya yang letaknya tak jauh dari Jalan Malioboro.
Museum Sonobudoyo adalah museum dan perpustakaan sejarah dan budaya Jawa di Yogyakarta. Museum Sonobudoyo ada dua unit ya. Jadi jangan salah tujuan. Unit I terletak di Jalan Trikora, persis menhdapan Alun-Alun Utara. Sementara Unit II terletak di Ndalem Condrokiranan, Wijilan, sebelah timur alun-alun utama kota.
Nah yang saya datangi itu Musem Sonobudoyo Unit I. Dari Jalan Malioboro jalan lurus saja melewati Benteng Vredenburg dan Nol Kilometer Yogyakarta. Lalu berjalan ke arah Alun-Alun Utara. Pintu masuk Museum Sonobudoyo menghadap Alun-Alun Utara itu. Setiba di komplek museum, saya membeli tiket masuk.
Harga tiketnya sangat-sangat murah jika saya bandingkan dengan museum-museum yang pernah saya kunjungi di Eropa dan negara Asia lainnya. Untuk orang dewasa harga tiketnya Rp 3 ribu dan rombongan Rp 2.500 per orang. Tiket anak-anak juga Rp 2.500 per orang. Dengan harga tiket cuma segitu, bisa puas melihat koleksi museum yang sangat menarik.
Museum ini berisi koleksi artefak Jawa terlengkap, setelah Museum Nasional di Jakarta. Selain keramik zaman Neolitik dan patung perunggu dari abad ke-8, museum ini juga menyimpan koleksi wayang, berbagai senjata kuno, dan topeng Jawa. Selain itu, ada juga koleksi khusus Bali.
Museum ini juga menampilkan pertunjukan wayang dan gamelan pada hari kerja, terutama untuk wisatawan asing dan domestik. Hanya saja, pertunjukan hanya malam hari. Jadi saya tidak bisa menunggu. Lagian, saya tidak begitu tertarik menyaksikan pertunjukan wayang. Sekitar satu jam saya menghabiskan waktu di Museum Sonobudoyo.
Tidak jauh dari Museum Sonobudoyo, ada Masjid Agung Kauman atau Masjid Gedhe Kauman. Masjid di sebelah barat Alun-alun Utara Kraton Yogyakarta ini adalah Masjid Agung Kesultanan Yogyakarta. Masjid Gedhe Kauman dibangun pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono I. Tepatnya 29 Mei 1773 M.
Dilihat dari luar, tampak kurang menarik. Tapi bagian dalamnya sangat menarik. Kompleks Masjid Gedhe Kauman dikelilingi dinding yang tinggi. Pintu utama kompleks terdapat di sisi timur dengan konstruksi semar tinandu. Arsitektur bangunan induk berbentuk tajug persegi tertutup dengan atap bertumpang tiga.
Untuk masuk ke dalam terdapat pintu utama di sisi timur dan utara. Serambi masjid berbentuk limas persegi panjang terbuka. Di sisi dalam bagian barat terdapat mimbar bertingkat tiga yang terbuat dari kayu dan bercat emas, mihrab, dan sebuah bangunan mirip sangkar yang disebut maksura. Pada zamannya, untuk alasan keamanan, di tempat ini sultan melakukan ibadah.
Hanya sepelemparan batu dari Masjid Gedhe Kauman, tampak Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Jadi cukup jalan kaki saja untuk sampai di komplek istana Sultan Yogyakarta itu. Kompleks tersebut merupakan pusat kebudayaan Jawa, dan berisi museum yang memamerkan artefak kerajaan.
Keraton Yogyakarta terdiri dari 3 bagian yang terdiri dari kompleks depan keraton, kompleks inti keraton dan kompleks belakang keraton. Namun hanya bagian depan dan bagian belakang keraton yang bisa dijelajahi. Saya tidak paham yang mana bagian depan dan mana bagian belakang. Saya mengikuti saja orang yang ramai di dekat pintu masuk dan melihat loket tiket masuk keraton yang menghadap alun-alun.
Tiket istana bagian depan Rp 5.000 per orang ditambah tiket izin memotret di Keraton Yogyakarta bagian depan Rp 2 ribu. Sementara tiket bagian belakang Rp 7.500 per orang dan izin memotret di Keraton Yogyakarta bagian belakang Rp 1.000. Tiket turis mancanegara Rp 15 ribu per orang.
Setelah membeli tiket ini lah baru saya tahu, bagian depan dan bagian belakang. Yang saya masuki adalah bagian depan, menghadap Alun-Alun Utara. Gerbang utama sebagai pintu masuk ke Keraton Yogyakarta dari arah utara yaitu Gapura Gladhag dan Gapura Pangurakan. Tapi pengunjung tidak melewati gapura itu.
Ada pintu khusus yang ukurannya lebih kecil di bagian samping. Setelah melewati pintu ini, pengunjung langsung melihat Bangsal Pagelaran. Tempat ini dahulunya digunakan oleh para abdi kesultanan yang akan menghadap Sultan pada upacara resmi. Sekarang ini, selain digunakan untuk upacara adat keraton, juga berbagai kegiatan atau event-event budaya dan pariwisata.
Saat saya masuk, Penjaga Keraton sedang latihan di komplek Bangsal Pagelaran. Komplek ini tidak terlalu istimewa dan tidak banyak yang bisa dilihat. Kecuali, singgasana atau tempat duduk sang Sultan. Singgasana ini menghadap lurus ke arah tugu Jogja.
Selanjutnya adalah kompleks Siti Hinggil Ler atau Balairung Utara. Di komplek ini ada hall besar terbuka yang disebut dengan Tratag Siti Singgil. Ruangan ini secara tradisi pergunakan untuk tempat mengadakan upacara resmi kerajaan. Di tengah-tengah Siti Hinggil itu ada Bangsal Manguntur Tangkil. Tempat Sultan duduk di atas singgasananya pada saat acara resmi kerajaan seperti pelantikan Sultan dan Pisowanan Ageng atau pertemuan besar para petinggi kesultanan.
Di sebelah selatan Bangsal Manguntur Tangkil terdapat Bangsal Witono. Lantai utama yang lebih besar dari Manguntur Tangkil ini dibuat lebih tinggi. Bangunan ini digunakan untuk meletakkan lambang-lambang kerajaan maupun pusaka kerajaan pada saat mengadakan acara resmi kerajaan. Hingga perangkat gamelan atau alat musik tradisional.
Dua kompleks itu yang bisa saya kunjungi karena memang hanya itu yang terbuka untuk turis. Padahal saya berharap bisa melihat hampir keseluruhan isi kompleks keraton seperti Grand Palace di Bangkok. Sempat kecewa karena tidak bisa melihat Kamandhungan Lor, Komplek Sri Manganti, Komplek Kedhaton, dan Kompleks Kamagangan. Rasanya kurang puas.
Saya kemudian meninggalkan kompleks keraton membawa rasa penasaran. Berjalan ke arah Istana Air Taman Sari. Taman Sari berada dalam kawasan Keraton Yogyakarta, tetapi di luar komplek keraton. Sekitar 1,5 kilometer jauhnya ke selatan. Taman Sari ini situs bekas taman kerajaan Kesultanan Yogyakarta yang dibangun pada pertengahan abad ke-18.
Untuk masuk, pengunjung lokal harus bayar tiket Rp 5 ribu ditambah Rp 3 ribu kalau bawa kamera untuk memotret. Jam bukanya dari pukul 08.00 – 17.00. Saya tiba sekitar pukul 3 sore dan diingatkan penjaga loket Taman Sari akan ditutup lebih cepat. Saya pikir masih ada waktu satu jam lebih, jadi saya tetap masuk.
Taman Sari dulunya berfungsi sebagai tempat peristirahatan, tempat meditasi, tempat pertahanan, dan tempat persembunyian. Makanya juga disebut Water Castle. Istana air ini terdiri dari empat area yakni danau buatan besar dengan pulau dan paviliun terletak di barat, kompleks pemandian di tengah, kompleks paviliun dan kolam di selatan, dan danau kecil di timur.
Saat ini hanya kompleks pemandian sentral yang terpelihara dengan baik, sedangkan area lainnya sebagian besar telah ditempati oleh pemukiman Kampung Taman. Kaget saat melihat di sekelilingnya banyak bangunan rumah. Sialnya lagi, saat datang komplek pemandian kering kerontang karena sedang direnovasi. Itu rupanya penyebab waktu kunjungan lebih cepat.
Rasanya tidak menikmati kunjungan karena buru-buru. Saya hanya fokus mengambil foto dan tidak bisa mengamati detail istana air itu. Ditambah rasa kecewa karena keindahannya berkurang setelah kolamnya tak berair. Saya pun berjanji untuk datang kembali suatu hari nanti.
Mengunjungi Candi Prambanan
Traveling di Yogyakarta rasanya kurang lengkap ya kalau tidak mengunjungi Candi Prambanan. Jadi pada hari ketiga di Yogyakarta saya khususkan hanya mengeksplore Candi Prambanan. Prambanan adalah kompleks candi Hindu abad ke-8. Kompleks candi ini terletak sekitar 17 kilometer timur laut kota Yogyakarta. Di perbatasan antara provinsi Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Untuk ke Candi Prambanan, saya menumpang bus Trans Jogja dari Malioboro yang melewati Bandara Adi Sucipto dan tujuan akhir terminal Pasar Prambanan. Biayanya sangat murah. Hanya Rp 3.500. Perjalan dengan bus memang relatif lebih lama dibanding kendaraan pribadi. Tapi tak begitu terasa.
Begitu sampai di terminal yang kecil itu, saya langsung mencari arah ke Candi Prambanan. Ternyata sudah tidak jauh. Terminal dan komplek Candi Prambanan itu sebenarnya berseberangan. Hanya saja, pintu masuk ke komplek Candi Prambanan berada di sisi lain. Harus berjalan kaki sekira 350 meter.
Saat masuk ke kawasan Candi Prambanan, pengunjung tidak langsung menemui situs candi Hindu itu. Candi Prambanan masih jauh ke dalam. Pengunjung pun harus melewati loket penjualan tiket lebih dulu. Harga tiket masuk komplek Candi Prambanan Rp 50 ribu untuk orang dewasa dan Rp25 ribu untuk anak-anak.
Dari loket itu, pengunjung masih harus jalan kaki lagi untuk sampai ke komplek Candi Prambanan. Tapi jangan khawatir, karena jalan yang dilalui rindang dan ada beberapa spot yang bagus untuk lihat. Kalau tidak mau jalan kaki, bisa sewa buggy. Saya tidak tahu tarifnya karena tidak mencoba.
Melihat candi yang berjejer dari kejauhan rasanya excited. Saya bergegas mendekat. Namun sinar matahari yang menyengat membuat langkah berat. Saya sesekali berhenti dan berlindung di bawah pohon yang rindang untuk berteduh. Jadi bagi yang tidak tahan cuaca panas, sebaiknya membawa payung.
Kompleks Candi Pramban ini adalah situs candi Hindu terbesar di Indonesia dan terbesar kedua di Asia Tenggara setelah Angkor Wat. Kompleks candi Prambanan awalnya terdiri dari 240 bangunan candi yang merepresentasikan kemegahan seni dan arsitektur Hindu Jawa kuno, juga dianggap sebagai mahakarya periode klasik di Indonesia.
Kini, bangunan candi yang masih berdiri megah hanya 18 saja. Ada tiga candi Trimurti, tiga candi Wahana, dua candi apit, empat candi kelir, 4 candi patok, dan dua candi perwara. Sebagian besar masih berupa tumpukan batu yang berserakan di sekitar candi utama dan zona inti.
Sebelum memasuki pelataran, pengunjung akan melewati batu-batu candi yang berserakan. Pengunjung banyak yang berfoto di sekitaran batu-batu itu dengan latar bangunan candi yang berdiri megah. Saya sendiri tidak melakukannya dan langsung menuju pelataran untuk melihat bangunan candi lebih dekat.
Candi-candi itu bisa dimasuki, meski terkadang harus berjuang karena tangganya yang lumayan curam. Saya memasuki candi satu per satu. Melihat wujudnya lebih detil dan relief-relief yang indah. Sebelum senja, pengunjung Candi Prambanan diminta keluar oleh petugas keamanan.
Pintu keluar dari pelataran berbeda dengan pintu masuknya. Pengunjung akan melewati lapangan Siwa Mandala dekat pintu keluar pelataran candi utama. Dari lapangan ini bisa memotret candi Prambanan secara lengkap. Saya singgah sebentar memotret untuk terakhir kalinya.
Nah sebelum benar-benar meninggalkan kawasan Candi Prambanan, pengunjung akan melewati toko-toko penjual souvenir dan penjual makanan. Deretan toko itu dilalui sepanjang jalan keluar. Jadi sebelum keluar dari situs Warisan Dunia Unesco itu, beli lah souvenir untuk kenang-kenangan dan bukti sudah traveling di Yogyakarta.(*)
(459)
One Comment