Jelajah Indonesia: Naik Kapal Pelni Dari Makassar ke Surabaya
Setelah lima bulan berkelana di luar negeri dan mengunjungi 25 negara, saya akhirnya kembali ke Indonesia tercinta. Saya memang sudah berjanji, setelah keliling (seperempat) dunia, saya akan menjelajahi negeri sendiri. Rencananya berangkat naik kapal pelni dari Makassar ke Surabaya. Saya pun menyiapkan waktu kurang lebih satu bulan untuk rencana menjelajahi Indonesia.
Tujuan pertama saya adalah kampung halaman. Saya terbang dari Kualalumpur, Malaysia, dengan maskapai Garuda Indonesia. Pilihan terbaik di antara beberapa pilihan karena harga tiketnya termasuk bagasi dan makanan. Penerbangan dari Kualalumpur ke Makassar sebenarnya sekitar tiga jam. Namun harus transit di Jakarta jadi lebih lama.
Perjalanan ini terasa istimewa bagi saya, sebab selain mengunjungi keluarga besar, saya juga merayakan lebaran di kampung. Perjalanan panjang dari Kualalumpur ke Makassar, kemudian perjalanan darat dari Makassar ke Belopa selama delapan jam tidak begitu terasa melelahkan. Mungkin karena begitu antusias.
Selama satu minggu, saya menikmati waktu bersama keluarga dan teman-teman semasa SMA. Kemudian kembali ke Makassar dan memulai penjelajahan di negeri tercinta ini. Makassar bukan tempat baru bagi saya. Kota ini pernah menjadi bagian dari perjalanan hidup saya. Selama lima tahun saya menetap di Makassar untuk kuliah.
Jadi perjalanan kali ini seperti ajang nostalgia. Malam pertama di Makassar, saya menginap di dekat kampus saya dulu, Universitas Hasanuddin. Di jalanan utama di depan kampus itu, saya menikmati makam malam. Pilihannya, sudah pasti makanan khas Makassar, Coto.
Usai makan, mata saya memandang ke gerbang masuk kampus dan mengingat masa-masa kuliah. Sekarang sudah banyak yang berubah. Makassar pun semakin berkembang sejak saya tinggalkan. Suasananya sudah lebih metropolitan. Selama beberapa hari di makassar, saya mendatangi beberapa tempat yang sering saya kunjungi dulu. Pasar Sentral, Lapangan Karebosi, Benteng Rotterdam, Jalan Somba Opu, hingga Pantai Losari yang legendaris.
Di Pantai Losari saya banyak menghabiskan waktu sekalian menunggu jadwal kapal ke Surabaya. Saya menginap di POD House Makassar yang berkonsep capsule hostel. Ini salah satu hostel terbersih dan ternyaman yang pernah saya datangi. Lokasinya pun sangat strategis. Persis menghadap Pantai Losari dan seafront (anjungan) yang kini jadi ikon Makassar.
Kawasan Pantai Losari, selain lokasinya memang relatif dekat dengan Pelabuhan Soekarno-Hatta, juga tempat paling asyik menikmati suasana Makassar. Di sepanjang tepian pantai ini banyak hotel, restoran, dan warung tenda. Apalagi sejak adanya anjungan, kawasan Pantai Losari semakin ramai dan asyik untuk kongkow.
Sore-sore ramai pengunjung yang datang kongkow sambil menanti sunset yang akan tenggelam di Selat Makassar. Sunset di Pantai Losari ini salah satu yang terindah yang pernah saya lihat. Yang unik, di lokasi ini kita juga bisa menikmati sunrise. Makanya banyak turis yang memilih menginap di kawasan Pantai Losari.
Hingga malam Pantai Losari selalu ramai. Warga setempat dan wisatawan berburu kuliner khas Makassar. Camilan kesukaan saya, pisang epe, banyak dijual di sini. Sekarang sudah bervariasi dengan topping. Ini salah satu makanan penutup atau camilan yang mesti dicoba kalau sedang di Makassar, selain Pisang Ijo.
Menuju Surabaya
Setelah tiga hari di Makassar, saya nekat berangkat naik kapal Pelni dari Makassar ke Surabaya meski belum ada tiket di tangan. Saya terpaksa menumpang kapal karena harga tiket pesawat melambung sangat tinggi. Sementara saya harus menghemat dengan uang tersisa. Untungnya ada teman yang membantu mendapatkan tiket kapal Pelni pada malam keberangkatan.
Lagi-lagi perjalanan ini membawa saya bernostalgia. Semasa kuliah, kami selalu menumpang kapal kalau berangkat untuk ikut kompetisi di Jawa. Biasanya naik kapal Pelni dari Makassar ke Surabaya. Juga sewaktu saya memutuskan merantau ke Batam, saya menumpang kapal dari Makassar ke Jakarta. Kemudian Jakarta Batam.
Tapi kali ini situasinya berbeda. Penumpang kapal di terminal keberangkatan membludak. Memang bertepatan dengan arus balik Lebaran. Tapi saya masih berpikir kapal Pelni sudah berubah seperti yang saya dengar-dengar. Jumlah penumpang disesuaikan kapasitas kapal dan semua penumpang akan mendapatkan tempat yang layak.
Begitu naik ke atas kapal, bayangan setengah indah itu langsung buyar. Kapal penuh sesak hingga sulit mencari tempat. Tiket saya memang kelas ekonomi non seat. Artinya harus mencari sendiri ruang di dalam kapal. Tetapi, hampir semua tempat sudah dikuasai sehingga sebagian penumpang yang tidak mendapat tempat di dalam terpaksa mengambil tempat di ruang terbuka.
Saya tidak memilih opsi itu karena tidak tahan hembusan angin malam. Saya akhirnya mendapat sedikit tempat dekat tangga dek dan bercampur dengan penumpang yang tak saya kenal. Tempat itu harus berbagi dengan barang bawaan dan hanya cukup untuk rebahan dengan kaki sedikit ditekuk.
Dini hari, saya berusaha tidur. Namun tidak bisa karena penumpang lalu lalang seperti tak ada habis-habisnya. Apalagi lampu sangat terang. Saya menutup wajah dengan selimut dan berusaha memejamkan mata. Mungkin karena kecapean, akhirnya bisa tidur juga, meski sering terbangun dan mendengar langkah kaki.
Entah berapa lama tertidur, saya kemudian bangun menjelang tengah hari. Saya ke kamar mandi untuk buang air kecil dan mandi. Begitu masuk kamar mandi, rasanya tak sanggup melihat kondisinya yang tak bersih. Ada beberapa toilet yang tidak bisa digunakan karena rusak. Ternyata, kondisi kapal Pelni belum berubah. Akhirnya saya hanya buang air kecil dan membasuh wajah.
Sehabis dari kamar mandi, saya melihat penumpang mulai antre mengambil jatah makan siang. Saya bergegas masuk antrean. Antrean ini sudah lumayan panjang. Saat giliran saya, kru kapal meminta tiket dan ditandai. Piring dan menunya ternyata tidak banyak berubah dibanding terakhir kali saya menumpang kapal Pelni belasan tahun yang lalu.
Perjalanan laut dengan kapal Pelni dari Makassar ke Surabaya ini lebih dari 24 jam. Seingat saya, tiga kali antre untuk mengambil jatah makan. Kapal tiba di pelabuhan Tanjung Perak di hari berikutnya jelang subuh. Saya tidak langsung turun dari kapal dan memilih menunggu hingga agak sepi. Lagian lebih bagus menunggu di atas kapal sebelum ke penginapan yang sudah saya pesan.
Di Surabaya, saya menginap di The Hostel. Dekat Pasar Genteng. Tarifnya Rp 187 ribu untuk 2 malam, termasuk sarapan. Dari Pelabuhan Tanjung Perak, saya naik gocar. Saya bisa langsung check in meski masih sangat pagi karena memang saya pesan untuk 2 malam. Istilahnya late check in.
Usai check in, saya langsung sarapan. Hanya saya sendiri sebab tamu lainnya yang rata-rata backpacker asing masih tidur. Sarapannya termasuk bagus untuk kelas hostel. Bahkan disediakan minuman yang iklannya “saya minum dua”. Sehabis sarapan, saya kembali ke kamar dan tidur untuk menebus kantuk dan memulihkan tenaga.
Sightseeing di Surabaya.
Sejak pertama kali tiba di Surabaya, rasanya takjub dan kagum. Suasana dan wajah kotanya sangat berbeda ketika pertama kali ke Surabaya 19 tahun yang lalu. Sekarang pastinya lebih tertata, bersih, dan hijau. Pantas saja Wali Kota-nya sangat dipuji. Kesan itu membuat saya semakin penasaran dan ingin segara menjelajahi kota ini.
Siangnya setelah mengumpulkan cukup tenaga, saya mulai menjelajahi Surabaya. Saya mulai dari kulinernya. Kangen dengan pecel yang otentik. Beruntung di dekat Pasar Genteng, depan kali besar, ada warung yang menjual nasi pecel. Lagi-lagi rasanya penuh nostalgia. Teringat pengalaman ke Surabaya pertama kali dan makan di warung bareng teman-teman.
Usai makan siang, saya mulai keliling dengan jalan kaki. Dari warung pecel itu, saya ke kantor Wali Kota Surabaya. Melewati kali besar yang bersih dan banyak hiasan. Banyak yang berubah di Surabaya, tapi ada satu yang sejak dulu tidak berubah. Suhunya yang sangat panas.
Di depan kantor Wali Kota ada keluarga dan anak-anaknya piknik. Anak-anaknya asyik banget bermain di air mancur. Rasanya pengen ikut. Tak tahan cuaca yang panas, saya kembali ke arah kali besar dan menuju taman yang hijau di pinggiran kali. Namanya Taman Ekpresi. Bersebelahan dengan Taman Prestasi. Tamannya asyik untuk nongkrong dan menghindar dari teriknya matahari.
Selebihnya setelah dari taman itu, saya menngunjungi beberapa tempat-tempat bersejarah di Surabaya. Saya singgah di Gedung Siola. Tujuaannya mau mengunjungi Museum Surabaya. Rupanya tutup karena hari Senin. Ya saya melanjutkan ke arah perempatan Jalan Tunjungan. Melihat suasana Jalan Gemblongan, Jalan Pahlawan, dan sampai di Monumen Tugu Pahlawan.
Di kawasan Monumen Tugu Pahlawan ini ada patung Soekarno dan Hatta di gerbangnya. Di samping kiri kanannya bangunan Museum 10 November. Lagi-lagi saya tidak bisa masuk museum karena waktunya tidak tepat. Saya hanya melihat-lihat patung dan mobil yang dipamerkan di ruang terbuka. Mobil tua milik Bung Tomo.
Hingga jelang Magrib saya berada di Tugu Pahlawan, lalu kembali melalui Jalan Pahlawan dan Jalan Tunjungan. Suasana jalan sangat ramai. Tempat-tempat kongkow dan kuliner sudah mulai buka dan aroma makanan tercium. Rasanya mengasyikkan jalan-jalan sore dan melihat suasana kota yang dinamis.
Meski hanya kurang lebih dua hari di Surabaya dan mengunjungi sedikit tempat wisata, tetapi saya cukup puas. Mengobati rasa penasaran dan melepas nostalgia yang entah kapan akan terulang lagi. Yuk jelajah Indonesia dengan naik kapal Pelni. (bersambung)
(1986)
Related Posts
4 Hari Traveling di Yogyakarta, Kurang Puas
Pelangi di Taman Bunga Nusantara Cianjur
Kuta, Blue Lagoon, dan Sukawati yang Menggoda Mata
About Author
ahmadi
Penggemar traveling, backpacking, senang belajar budaya, sejarah, geoografi dan peradaban. Lahir dan tumbuh di desa kecil yang indah, lalu menyelesaikan pendidikan di Kota Makassar. Kini menetap di Batam, Kepulauan Riau.
Add a Comment
Cancel reply
This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.
One Comment