Ikut Open Trip Bromo dari Malang
Kawasan Bromo terkenal sebagai objek wisata utama di Jawa Timur. Kawasan ini bagian dari Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Uniknya, Bromo adalah gunung berapi yang masih aktif. Karena keunikan dan juga keindahannya itulah yang menarik banyak wisatawan ramai-ramai mengunjunginya.
Namun yang paling diburu adalah sunrise Bromo. Menyaksikan matahari terbit di atas Penanjakan. Tergiur dengan keindahannya itu, saya bersama teman backpacker mengikuti open trip ke Bromo dari Malang. Kami ikut open trip setelah menjelajahi Tumpak Sewu.
Untuk mengunjungi Bromo memang ada dua pilihan populer. Selain melalui Malang, pilihan lainnya adalah melalui Probolinggo. Saya memilih lewat Malang karena banyak yang bisa dikunjungi di Malang sebelum ke Bromo. Apalagi di Malang banyak agen travel yang menawarkan open trip ke Bromo.
Sehari sebelumnya, kami sudah mencari-cari open trip dan membandingkan harganya. Awalnya kami menanyakan di agen travel di hostel tempat kami menginap. Tarifnya relatif mahal, mulai Rp 450 ribu per orang jika 6 orang. Kalau 4 orang lebih mahal lagi.
Kami memutuskan tidak langsung mengambil open tip itu dan berusaha mencari yang lebih murah. Tengah berdiskusi, tiba-tiba kenalan kami menawarkan ikut open trip mereka. Harganya hanya Rp 350 ribu per orang. Paket itu sudah termasuk penjemputan, sarapan, dan kunjungan ke empat point.
Itinerary yang diberikan ke kami yakni Sunrise Bromo, Kawah Bromo, Pasir Berbisik, dan Padang Savana/Bukit Teletubbies. Ini itinerary yang standar dan umum ditawarkan untuk open trip Bromo. Selain memberikan itinerary, kami juga diingatkan untuk menyiapkan segala kebutuhan pribadi seperti jaket, kupluk, dan tisu.
Kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru itu berada di ketinggian, jadi tentu saja cuacanya dingin. Tetapi saya tidak ada bayangan sedingin apa suhu saat dini hari dan siang di sana. Karena khawatir kedinginan, saya menyiapkan jaket, sarung, selimut, kupluk, dan sarung tangan.
Perjalanan ke Bromo
Dari Kota Malang ke Bromo perjalanan dengan jeep bisa ditempuh sekitar dua jam. Jadi untuk mengejar matahari terbit harus berangkat dini hari. Kami dijemput di rumah teman tengah malam. Dalam jeep itu sudah ada dua orang lainnya. Sementara kami berempat. Totalnya enam orang.
Dini hari kami berangkat. Teman menyarankan untuk tiduran selama perjalanan. Tapi bagi saya rasanya sulit tertidur dengan posisi duduk tegak. Mau selonjoran sedikit saja sudah terhalang kaki dan lutut penumpang lain. Ya duduk dalam jeep itu lutut ketemu lutut.
Mana lagi jalanan tidak selamanya mulus dan berbelok-belok melewati pasir. Kadang jeep terguncang membuat usaha untuk tidur tak berhasil. Setelah merasakan sensasi jeep yang cukup mangaduk-aduk perut, pada hamparan pasir dan pegunungan, akhirnya kami tiba di spot penanjakan pukul 03:00.
Ada keuntungan tiba lebih awal. Jeep bisa parkir dekat pintu masuk. Setibanya di penanjakan dan sunrise point, kami tetap di dalam jeep untuk menjaga suhu tubuh. Sambil menunggu, lagi-lagi saya berusaha tidur sebentar. Lamat-lamat, suara jeep dan manusia semakin ramai. Tak jadi tidur lagi.
Kami keluar dari jeep dan suhu dingin langsung membekap tubuh. Dinginnya benar-benar mengagetkan saya. Ternyata lebih dingin dari gunung bersalju yang pernah saya datangi di Jerman. Saya membungkus badan dengan selimut dan sarung. Memakai kupluk dan memasang sarung tangan. Namun tubuh saya tetap menggigil.
Teman kemudian mengajak menghangatkan diri di warung yang sudah ramai. Kami memesan wedang jahe dan menyantap pisang goreng. Wedang jahe sedikit menghangatkan badan. Meski sesekali badan saya tetap menggigil. Di warung dan sekitarnya pengunjung semakin ramai. Pertanda sunrise kian dekat.
Menanti Sunrise di Penanjakan
Sunrise di Bromo biasanya mulai pukul pukul 05:30. Pukul 05.00, kami meninggalkan warung. Hanya beberapa menit berjalan kaki, kami sampai di sunrise point. Wisatawan sudah ramai menanti matahari terbit dan bersiap-siap mendokumentasikan momen itu lewat gadget mereka. Saking ramainya, agak sulit mencari posisi terbaik.
Saat matahari mulai muncul, pengunjung seperti terhipnotis. Terkesima semburat merah matahari yang muncul dari balik gunung. Perlahan cahayanya mulai menyinari puncak Bromo dan gunung di sekitarnya. Kemudian menyinari padang pasir. Keindahan Bromo dan hamparan padang pasir yang mengelilinginya pun membuat takjub.
Bersyukur rasanya melihat keindahan ciptaan Tuhan walau hanya sebentar karena cahaya matahari semakin terang. Kami pun bergeser ke tempat lain untuk melihat Bromo dari sudut padang lain. Teman kami yang sudah pengalaman mengajak ke spot yang jarang didatangi wisatawan. Hanya beberapa langkah dari jejeran warung di penanjakan.
Kami berfoto-foto di spot itu tanpa gangguan pengunjung lain. Dengan latar Bromo foto-foto jadi ciamik. Puas berfoto, kami diajak turun ke padang pasir. Naik jeep memang paling pas untuk menjelajahi Bromo karena rutenya yang menantang. Tapi tak sedikit juga yang mengendarai motor, padahal berbahaya.
Hanya beberapa menit saja, jeep sudah sampai di padang pasir. Sopir membawa kami ke spot yang agak jauh dari parkiran jeep. Jadi kami saja di lokasi itu dan membuka bekal sarapan. Sarapan itu disiapkan sopir jeep yang sekaligus jadi guide. Sambil makan, mata juga diberi ‘makan’ dengan pemandangan sekeliling.
Padang pasir itu dibentengi jejeran bukit dan gunung. Jadi posisi kita itu di lembah. Lalu di tengah-tengahnya bertengger Gunung Bromo yang mengeluarkan asap. Juga Gunung Widodaren dan Gunung Batok yang permukaannya unik. Perpaduan itu membuat pemandangan kawasan Bromo tak terbantahkan keindahannya.
Namun lama-lama saya mulai terganggu dengan suhu yang memanas. Masih pagi, tetapi matahari yang bersinar penuh membuat tubuh saya kegerahan. Rupanya dua jaket masih membalut tubuh saya. Selimut, jaket, dan kupluk kemudian saya tanggalkan. Hanya menyisakan sweater.
Menuju Kawah Bromo
Dari Lembah Widodaren, kami pindah ke parkiran jeep. Semua jeep yang membawa wisatawan berkumpul di sini. Lalu berjalan kaki atau naik kuda jika ingin ke Gunung Bromo dan melihat kawahnya. Di parkiran itu banyak pemilik kuda yang menawarkan jasanya. Biaya menunggang kuda ke kawah sekitaran Rp 100ribu-150 ribuan PP dari parkiran jeep.
Kalau ingin lebih murah, jalan kaki saja ke kaki Gunung Bromo, lalu dilanjutkan sewa kuda sekitar 50 ribuan PP untuk ke tangga kawah Bromo. Meski begitu, saya tetap memilih jalan kaki. Ketika menuju kawah Bromo, kita akan melewati Pura Luhur Poten. Pura di tengah lautan pasir Gunung Bromo ini tempat beribadah Suku Tengger.
Saya beristirahat sejenak di dekat pagar Pura Luhur Poten karena agak capek juga berjalan di lautan pasir. Apalagi sinar matahari makin ganas. Saran saya, jika datang, sebaiknya bawa payung. Supaya tidak gosong dan dehidrasi. Dari pura itu perjuangan masih panjang untuk sampai ke atas puncak Bromo.
Perjuangan sesungguhnya adalah ketika menapak ratusan anak tangga untuk sampai ke puncak Bromo. Bersyukur saya masih fit dan tidak banyak berhenti saat mendaki. Sesampai di puncak, hati rasanya plong. Apalagi saat melihat pemandangan kawah Bromo dan sekeliling. Menakjubkan!
Di bibir kawah Bromo, turis ramai. Saya sempat membayangkan jika ada yang terjatuh ke dalam mulut kawah Bromo, tentu saja sulit menyelamatkannya. Di kawah itu ada lubang lagi yang tidak terlihat dasarnya. Selain dalam, dari dasar kawah keluar asap.
Saya lalu mengalihkan pandangan untuk menghilangkan pikiran buruk. Menyapukan pandangan pada lautan pasir, tebing yang mengelilingi, dan perbukitan yang hijau. Pura Luhur Poten yang berada di tengah lautan pasir tampak sangat kecil.
Tidak sampai setengah jam di puncak Bromo, saya memutuskan turun dan berjalan kaki ke tempat parkir jeep. Perjalanan cukup menguras tenaga, ditambah sinar matahari yang kian ganas. Dua kali saya berhenti dan berlindung dari sengatan sinar matahari. Sekalian menunggu teman yang lain. Kami pun berkumpul dan kembali naik jeep.
Pasir Berbisik Bromo
Dari tempat parkir, jeep membawa kami ke lokasi berikut, Pasir Berbisik. Itulah sebutan dari lautan pasir yang terkenal di Bromo. Nama itu disematkan setelah film karya sutradara Nan Achnas tahun 2001 silam yang berjudul Pasir Berbisik mengambil lokasi syuting di tempat itu.
Hamparan luas padang pasir ini kemudian menjadi salah satu incaran para wisatawan yang berkunjung ke Kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Lokasi ini menjadi spot berfoto yang eksotis. Saat berfoto di sini, jangan pernah mengenakan kostum yang berwarna gelap, karena akan menyatu dengan warna pasir yang hitam.
Kami bergiliran berfoto dibantu sopir jeep. Ia yang mengarahkan karena sudah tahu lokasi. Jadi proses pemotretannya cepat. Kami tidak berlama-lama di lokasi ini karena panas matahari dan kami mengejar ke lokasi lainnya.
Bukit Teletubbies Bromo
Bukit ini dinamai Teletubbies karena katanya penampakannya mirip dengan bukit berwarna hijau yang ada di film kartun Teletubbies. Mendengar klaim itu, saya jadi penasaran. Ekspektasi saya, nanti bakalan melihat bukit-bukit dengan rumput hijau yang menawan bak permadani.
Sesampai di lokasi, ekspektasi saya buyar. Saya tidak melihat bukit yang mirip dalam film kartun Teletubbies. Konturnya tidak ada kemiripan. Kalau dibilang bukit hijau, ya saya setuju. Bukit itu juga ditumbuhi ilalang dan pohon. Jadi tidak banyak pemandangan rumput yang bak karpet hijau nan mulus.
Namun yang unik adalah pemandangan hijau bukit terlihat kontras dengan kondisi sekelilingnya yang dominan berwarna abu-abu dan gelap. Kontrasnya pemandangan ini membuat Bukit Teletubbies terlihat menarik.
Bukit Teletubbies menjadi spot terakhir yang kami datangi di Kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Sebelum pulang, kami mendekati warga setempat yang menjual cinderamata, termasuk bunga edelweis yang diberi pewarna. Kami cuma melihat-lihat sebentar lalu pulang dengan kantuk yang tak tertahankan. (*)
Harga Tiket Masuk Kawasan Bromo
Wisatawan Lokal:
Hari Biasa: Rp 29.000
Hari Libur/Akhir Pekan : Rp 39.000
Wisatawan Mancanegara:
Hari Biasa: Rp 217.500
Hari Libur/Akhir Pekan : Rp 317.500
(365)
terimakasih atas infonya ini., ;p