Jelajah Indonesia: Wisata di Kota Malang
Malang sudah lama dikenal sebagai kota pariwisata karena alamnya yang menawan. Dikelilingi pegunungan sehingga udaranya sejuk. Malang pun terkenal sebagai kota bunga karena banyaknya bunga yang menghiasi kota. Kesan positif itulah yang membawa saya ingin wisata ke Kota Malang.
Saya berangkat dari Surabaya setelah kurang lebih dua hari mengeksplore Kota Pahlawan itu. Saya naik bus dari Terminal Purabaya, Bungurasih, menjelang sore. Sebelum berangkat, saya bertanya-tanya ke teman cara paling murah ke Malang. Ada dua pilihan tranportasi umum ke Malang. Selain bus, bisa juga menumpang kereta.
Hanya saja, kereta jadwalnya berangkat pagi. Jadwal yang tak seirama dengan rencana saya. Akhinya pilihan jatuh pada bus. Jadwal keberangkatan lebih banyak. Mulai pagi hingga sore. Saat tiba di depan Terminal Purabaya, saya belum sempat melewati gerbangnya, ada bus yang mau ke Malang.
Tanpa pikir panjang, saya naik saja. Bus agak penuh dan saya duduk di kursi paling belakang bersama seorang tentara. Setelah duduk, kernet bus menagih uang sewa. Saya lirik-lirik penumpang lain. Mereka membayar tidak lebih dari Rp 5000. Saya pun menyerahkan uang Rp 5000 dan dikembalikan Rp 1.500. Saya agak terkejut, kok murah amat!
Memang busnya bukan kelas VIP. Bukan pula bus baru. Yah, sudah kategori tua lah. Tapi saya tetap terkejut mengingat ongkos angkot tua di Batam saja paling murah Rp 5000 untuk rute yang tak sampai 18 kilometer. Nah ini, dari Surabaya ke Malang jaraknya 87 kilometer.
Perjalanan ditempuh sekitar 2 jam. Menjelang Magrib, bus tiba di Terminal Arjosari. Dari terminal, saya menumpang ojek ke pusat kota. Tujuan saya memang Kota Malang. Saya menginap di Shelter Hostel Malang. Di ujung Jalan Suropati. Di tengah kota. Saya sengaja pilih di tengah kota supaya mudah ke mana-mana.
Kota Malang kota terbesar kedua di Jawa Timur setelah Surabaya. Bertetangga dengan Kota Batu dan dikelilingi Kabupaten Malang. Jadi ingat ya guys, Malang itu terbagi dua. Melihat suasananya sekilas, Kota Malang mengingatkan saya pada Bandung di awal tahun 2000-an. Banyak pohon besar dan udaranya sejuk.
Saat siang berganti malam, suhu udara makin sejuk. Membuat saya agak malas keluar setelah check in di hostel. Saya leyeh-leyeh di teras hostel dan bercengkrama dengan backpacker yang kebanyakan bule. Mereka mau ke Bromo. Saya pun rencananya mau ke Bromo setelah mengeksplore Kota Malang dan Tumpak Sewu.
Namun saya dibuat penasaran dengan kampung-kampung tematik di Kota Malang yang viral dan banyak dicontek. Jadi saya meluangkan waktu satu hari untuk mengenal Kota Malang dan kampung-kampung tematiknya. Juga peninggalan masa Kerajaan Kanjuruhan hingga Belanda. Peninggalan Belanda pada umumnya berupa bangunan-bangunan kuno dan masih bisa dilihat hingga kini.
Kampung Arema dan Kampung Jodipan
Hari kedua di Kota Malang, saya janjian dengan teman backpacker untuk mengeksplore kampung-kampung tematik. Dari hostel kami jalan kaki saja ke arah stasiun kereta Malang Baru karena tidak jauh. Kampung-kampung tematik itu lokasinya dekat dengan stasiun kereta Malang Kota Baru. Yes, wisata di Kota Malang dimulai!
Pas di depan simpang jalan depan kampung wisata, kami sedikit kebingungan. Mau memulai dari mana. Karena, ternyata tiga kampung tematik lokasinya bersebelahan. Akhirnya kami sepakat memulai dari Kampung Biru Arema. Seperti namanya, rumah-rumah di sini diwarnai serba biru. Warna itu identik dengan tim sepak bola kebanggaan warga Malang, Arema.
Setelah melewati gerbang dan menuruni tangga, terlihatlah rumah-rumah berwarna biru. Sebelum menjelajahinya kami membayar tiket masuknya di loket yang berada di dekat tangga tadi. Tiket masuknya Rp 2.500 per orang. Dengan tiket itu, pengunjung bebas mengeksplore dan berfoto di semua objek.
Ada sekitar 500-an rumah yang dicat biru di Kampung Arema. Jika dilihat dari ketinggian, kampung ini memesona. Dilihat dari dekat, banyak keunikan-keunikan yang bisa ditemui. Di setiap sudut tembok terdapat gambar-gambar tiga dimensi. Gambarnya para pemain legenda klub sepak bola Arema sehingga para penggemar klub bola bisa berfoto dengan tokoh yang diinginkan. Terlihat instagramable.
Sesampai di bagian belakang Kampung Biru Arema, terlihat Kampung Warna-warni Jodipan. Pemandangannya sangat kontras dengan Kampung Biru Arema. Melalui jalan setapak, kami menyeberang di bawah jembatan. Kami masuk saja karena tidak mengetahui di mana letak loket tiketnya.
Kampung warna-warni Jodipan lebih ramai pengunjung dibanding Kampung Biru Arema. Banyak cewek-cewek yang lagi berfoto. Karena memang banyak sudut-sudut yang instagramable. Inilah kampung warna-warni pertama di Indonesia yang menjadi salah satu destinasi favorit di Kota Malang.
Kampung ini berada di lereng jadi harus naik turun saat menjelajahinya. Di tengah-tengah kampung ada sungai Brantas yang dalamnya tak seberapa. Namun tetap ada jembatan yang menghubungkan kedua bagian kampung. Jembatan kaca ini jadi tempat selfie favorit bagi pengunjung. Di kaki jembatan ini lah akhirnya kami ditagih tiket. Tiket masuknya Rp 3000 per orang.
Kampung Warna-warni Jodipan berseberangan dengan kampung tematik lain bernama Kampung Tridi. Jembatan kaca tadi yang menjadi penghubungnya. Tiket masuk Kampung Tridi Rp 3000 per orang. Kami masuk lewat bagian belakang jadi tidak ada loketnya. Hanya ada seorang warga yang langsung menagih setiap pengunjung yang lewat.
Di Kampung Tridi ini banyak karya seni mural di dinding-dinding rumah, seperti Haji Lane di Singapura. Tetapi di sini, rumah-rumah berdempetan dengan jalan-jalan yang sempit. Maklum, dulunya kampung ini termasuk kawasan kumuh yang kemudian dipercantik.
Namun satu yang paling menarik perhatian kami adalah base camp dan rumah tower. Tower ini pernah menjadi lokasi syuting film Yowis Ben. Itu tertulis di papan yang berada di dekat kaki tangga. Untuk naik ke tower itu, pengunjung dipungut bayaran Rp 1000. Uangnya dimasukkan ke kotak yang tersedia.
Dari atas tower itu terlihat Kampung Warna-Warni Jodipan dan sebagian Kampung Tridi. Kami duduk-duduk meregangkan kaki yang sedikit penat sambil mendengar cerita penjaganya. Kata penjaganya, lokasi itu menjadi tempat berkumpul personel Yowis Band ketika baru terbentuk dalam cerita film.
Setelah dari rumah tower, kami berburu mural lagi. Ada petunjuk jalur yang bisa diikuti untuk mengelilingi Kampung Tridi. Berhubung kami dari belakang, jalur itu kami tidak ikuti sepenuhnya. Tetapi langkah kaki tetap menuntun kami ke bagian depan depan. Ke pintu gerbang Kampung Tridi yang persis menghadap Kampung Biru Arema.
Tak terasa sudah berjam-jam kami menjelajahi tiga kampung. Saat melihat jam, sudah pukul dua siang. Perut tiba-tiba rasanya lapar. Kami keluar dari Kampung Tridi dan menuju pasar untuk mencari makan siang.
Kampoeng Heritage Kajoetangan
Sesudah makan siang, kami main-main ke Alun-Alun Merdeka Malang untuk mencari keteduhan. Alun-Alun Merdeka terletak di depan Kantor Bupati Malang yang lama. Alun-alun ini dikelilingi tempat hiburan dan belanja seperti Sarinah, Gajahmada Mall, Ramayana, Mall Alun-Alun, tempat ibadah Masjid Agung Jami’ Malang, kantor pos Malang, dan bank.
Alun-alun Merdeka merupakan alun-alun terbesar di Malang dan tertua yang dibangun pada tahun 1882. Banyak pohon-pohon besar nan rindang. Juga bunga-bunga.Tidak hanya itu, Alun-Alun Merdeka pun menyediakan titik permainan ramah anak dan air mancur. Makanya ramai warga yang membawa anak-anak.
Kami hanya sebentar di sini dan teman mengajak lagi mencari Kampoeng Heritage Kajoetangan Malang. Saya sebelumnya tidak tahu sama sekali tentang kampung ini. Jadi saya ikut saja ajakan teman. Bebarapa kali kami bertanya kepada warga setempat. Kampoeng Heritage Kajoetangan, lokasinya di Jalan Jenderal Basuki Rahmat Gang IV, Kauman.
Ada tiga akses masuk menuju Kampung Heritage Kayutangan. Bisa dari koridor Talun di Jalan Arif Rahman Hakim gang 2 (gapura utama) dan dua akses lainnya dari koridor Kayutangan di Jalan Basuki Rahmat. Kami masuk melalui gapura utama. Tiket masuknya Rp5.000 per orang. Dengan harga tiket segitu, sudah bisa mengeksplore semua tempat, plus dapat peta rute wisata dan post card bernuansa vintage.
Menurut peta, ada sekitar 30 spot menarik yang bisa didatangi. Daya tariknya adalah rumah-rumah kuno yang sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda dan terawat baik hingga sekarang. Tetapi tak semua rumah di Kampoeng Heritage Kajoetangan ini rumah kuno.
Hanya ada 60 rumah kuno yang teridentifikasi di kawasan ini. Ada 25 yang bisa dikunjungi. Tempatnya tersebar ke beberapa area dengan nuansa berbeda. Setiap rumah punya nama lengkap, tahun berdiri, dan pemiliknya. Seperti Rumah Penghulu yang sudah ada sejak 1920, Rumah Jengki, hingga rumah paling tua yang sudah berdiri sejak 1870.
Di depan Rumah Jengki, ramai ABG lagi ngumpul dan berfoto. Mereka bergantian berfoto di depan mural yang ikonik. Mural itu banyak ditemukan di google photo. Saya juga ikut-ikutan berfoto padahal sudah hampir gelap. Setelah berfoto itu, saya sudah merasa cukup. Tetapi teman saya ngotot ingin melihat semua rumah kuno.
Saya mengikut saja walau kaki sudah pegal. Mana sudah gelap. Rumah yang dicari-cari sulit ditemukan. Malah sering nyasar. Bertanya sama warga pun kadang masih salah. Akhirnya dia menyerah. Saya lega dan tertawa. Namun saya hanya bisa lega sebentar, karena teman saya ingin ke rumah barang antik.
Setelah tanya-tanya ke beberapa warga, kami menemukan rumah barang antik yang berada di lorong lain. Dekat pintu masuk di Jalan Basuki Rahmat. Sesuai namanya, di sana tersusun barang barang kuno, mulai dari TV, radio, pemutar piringan hitam, vespa, perabotan, koper, koleksi jam weker, hingga motor jadul.
Menarik. Hanya saja, saya yang sudah pegal tak berselera lagi melihatnya. Ditambah perut sudah terasa lapar. Si teman kemudian mengajak pulang. Dari Kampoeng Heritage Kajoetangan kami jalan kaki pulang dan melewati Alun-Alun Tugu yang terletak persis di depan Balai Kota Malang.
Alun-alun ini dibangun pada tahun 1920 oleh orang Belanda Thomas Karsten. Di bagian tengah alun-alun ini terdapat tugu yang dikelilingi oleh kolam teratai, air mancur, bunga khas Malang, pohon palem, dan lampu plastik yang berbentuk seperti bunga matahari.
Ramai warga yang duduk menikmati keriuhan dan suasana malam di alun-alun yang dikeliling jalan lingkar. Kami singgah sebentar. Duduk menghirup udara malam dan menyaksikan pengunjung yang berduaan atau bermain dengan anak-anaknya. Setelah nafas terkumpul lagi, kami melanjutkan perjalanan pulang ke hostel. Dan istirahat!
(269)
Wah, jadi inget Kampung Pelangi di Semarang! Seru banget banyak spot foto bagus-baguuss. Eh, tapi penasaran juga dengan Kampoeng Heritage Kajoetangan. Baru pertama kali denger soalnya.
Iya mirip yang di Semarang. Aku juga baru tau Kampoeng Heritage Kajoetangan setelah di sana.