Perjalanan 14 Hari di Hongkong dan China bagian Selatan: Jeda di Nanning dan Kunming (6)

Setelah menikmati keindahan panorama Yangshuo dan Guilin, kami meninggalkan dua kota yang bertetangga itu dengan banyak kesan. Kami  melanjutkan perjalanan ke Nanning, Provinsi Guangxi, dan Kunming di Provinsi Yunnan. Di dua kota ini kami hanya merencanakan untuk istirahat, bermalas-malasan, dan menikmati matahari setelah berhari-hari ‘berselimut’ kabut dingin di Yangshuo dan Guilin.

Dari Guilin kami berangkat pagi hari dengan kereta. Tiket kereta sudah kami beli sehari sebelumnya melalui karyawan hotel. Kami memilih kabin sleeper train dengan kasur yang agak keras. Harga tiketnya  115 Y/118 Y/122  Yuan.  Dalam kabin, ada dua ranjang tingkat. Jadi kami bergabung dengan warga lokal dalam satu kabin. Selama perjalanan kami bisa melihat pemandangan dari jendala. Perjalanan ditempuh sekitar 8 jam dan akhirnya kami tiba di Nanning saat matahari sudah tenggelam.

Railway Stasiun Nanning.
Nanning Railway Station.

Kota Nanning dengan julukan Green City adalah ibukota Daerah Otonomi Zhuang Guangxi. Kota terbesar di wilayah ini. Letak hotel kami relatif tak jauh dari Stasiun KA Nanning (Nanning Railways Station) di Zhong Hua Lu yang berada di pusat kota. Jadi kami hanya jalan kaki sambil menggendong backpack. Meski dekat, lumayan sulit juga mencari hotel kami. Sebab hotel itu tidak memiliki bangunan sendiri. Celakanya lagi, orang-orang China sulit diajak berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Saya masuk ke salah satu pusat perbelanjaan dan menanyakan lokasi hotel kepada sekuriti, tapi hasilnya sama saja. Akhirnya saya berinisiatif mencari sendiri berdasarkan peta. Eh, ketemu juga. Setelah check in di Xingfu Hostel Nanning, saya hanya makan mie instan lalu istirahat. Sementara teman saya tetap berkeliaran dan bertemu seorang mahasiswa yang hendak kembali ke Kunming. Namanya Alex Lim.

Kamar dan ranjang saya di Xinfu Hostel Nanning.
Kamar dan ranjang saya di Xinfu Hostel Nanning.

Keesokan harinya, saya dan teman seperjalanan jalan-jalan di sekitar hotel yang berada di pusat kota. Nanning ini ternyata kota modern. Layaknya sebuah kota metropolitan, Nanning juga memiliki gedung-gedung pencakar langit. Bangunan tinggi dan pusat perbelanjaan di mana-mana. Setidaknya ada tujuh gedung dengan tinggi di atas 100 meter di kota ini. Di antaranya Diwang International Commerce Center setinggi 276 meter yang merupakan gedung tertinggi ke-21 di China dan World Trade Commerce City setinggi 218 meter.

Dengan jumlah penduduk sekitar 6,5 juta jiwa, lalu lintas di Kota Nanning cukup ramai, tapi tanpa kemacetan. Selain bus, mobil, dan taksi, moda transportasi yang cukup mendominasi jalanan adalah motor bertenaga listrik. Motor ini tidak mengeluarkan suara jadi terkadang terasa tiba-tiba muncul di belakang saya. Membuat saya terperanjat. Namun berjalan kaki sangat nyaman di Nanning. Kota ini memiliki jalur pejalan kaki yang lebar. Jalur pedestrian juga teduh dengan pohon-pohon.

Suasana Kota Nanning.
Suasana Kota Nanning.

 

Suasana Kota Nanning dan hiruk pikuk kendaraan.
Suasana Kota Nanning dan hiruk pikuk kendaraan.

 

Salah satu bangunan tinggi di Kota Nanning.
Salah satu bangunan tinggi di Kota Nanning.

Kendati telah berkembang menjadi pusat bisnis dan industri, Nanning tidak lantas menjadi kota angkuh, yang hanya dijejali gedung pencakar langit. Kota terletak di tepi utara Sungai Yong ini banyak memiliki ruang hijau, juga bukit-bukit yang hijau oleh deretan pohon cemara. Sebab itulah, Nanning mendapat julukan Green City.

Nanning juga tidak sedingin Yangshuo ataupun Guilin. Lebih hangat sebab letaknya yang lebih ke selatan. Bahkan dekat dengan Hanoi, Vietnam. Malah ada bus dari ke Hanoi-Nanning dan jalur kereta antara dua kota ini. Menindaklanjuti perjanjian kerja sama perdagangan bebas antara China dan negara-negara Asean, Kota Nanning ditunjuk sebagai kota penghubungnya. Kota Nanning punya penerbangan langsung ke Singapore, Kuala Lumpur, Bangkok dan Jakarta. Jadi bisa dikatakan Nanning adalah pintu masuk ke China di bagian selatan.

 

Dari Nanning ke Kunming dengan sleeper train

Dari Nanning, kami melanjutkan perjalanan ke Kunming setelah beristirahat dua hari. Kami lagi-lagi menumpang sleeper train dan berangkat malam. Tiket sudah kami beli sehari sebelumnya, jadi kami ke stasiun kereta satu jam sebelum keberangkatan. Harga tiket untuk hard sleeper (kasurnya agak keras) ada tiga pilihan, 179/185/192 Yuan, kalau kasur yang empuk harga tiketnya 283 dan 296 Yuan.

Stasiun kereta di China itu selalu ramai. Calon penumpang di mana-mana dan duduk bersama barang bawaan. Seperti budaya orang Indonesia kalau mudik. Namun untuk masuk ke bagian keberangkatan hampir mirip masuk ruang boarding bandara. Hanya boleh masuk menjelang jadwal keberangkatan. Tiket diperiksa lalu masuk dan naik ke lantai dua menggunakan tangga berjalan. Di dalam ruang tunggu, kursi nyaris penuh. Menunggu sekitar 30 menit, kami lantas masuk kereta dan ke kabin berdasarkan tiket. Lagi-lagi berbagi ruang dengan warga lokal dan saya selalu mendapat ranjang yang amat rapat dengan atap kereta. Saya tidur semalaman hingga tiba di Kunming pagi buta.

 

Kabin sleeper train. Saya tidur di rajang paling atas.
Kabin sleeper train. Saya tidur di rajang paling atas.

 

Suasana di stasiun kereta Kunming saat kami tiba subuh.
Suasana di stasiun kereta Kunming saat kami tiba subuh.

 

Meski subuh, stasiun kereta ramai. Kami terpaksa menunggu di stasiun kereta karena masih gelap. Cuaca juga agak dingin. Kami duduk melantai dan ramai calon penumpang lalu lalang. Sekitar satu jam menunggu, langit mulai terang. Kami pun melangkah meninggalkan stasiun kereta. Dari stasiun, lurus saja karena berdasarkan peta, lokasi hostel, dapat dijangkau dengan jalan kaki. Tetapi tak bertemu nama jalan yang tertera di alamat hostel yang kami booking.

Kami malah semakin jauh dari stasiun kereta dan ternyata kesasar hampir dua jam. Teman saya kecapean dan tak mau mencari alamat. Dia mengandaalkan saya, akhirnya saya kembali ke arah stasiun kereta dan mengambil jalur berlawanan. Memang saya yang salah membaca peta. Ternyata jalan, tempat hostel itu, sudah terlewatkan.

Setelah menemukan lokasi hotel, saya menjemput teman seperjalanan. Lumayan jauh ternyata. Saat saya kembali teman itu sudah bersama Alex Lim. Rupanya dia menghubungi Alex ketika saya pergi mencari hostel. Kami lantas bersama-sama ke hostel. The Hump Youth Hostel, letaknya di pusat keramaian Kota Kunming di Jinbi Road. Persis di samping alun-alun. Tarifnya 30 Yuan per malam. Hostel ini menyenangkan dan ramai bule-bule yang mau backpacking ke Tibet atau Himalaya. Dari rooftop yang juga cafe bisa menyaksikan pemandangan kota.

Ini gerbang masuk The Hump Youth Hostel.
Ini gerbang masuk The Hump Youth Hostel.
Pusat Kota Kunming.
Pusat Kota Kunming.

Pada malam hari kawasan di sekitar hostel berubah menjadi pasar malam yang menjual berbagai keperluan seperti pakaian, aksesoris, dan obat-obatan. Kami jalan-jalan di sekitar pasar malam dan pusat perbelanjaan yang berderet-deret seperti Orchad Road, Singapore. Tetapi di kawasan pusat perbelanjaan ini, kendaraan tidak boleh masuk. Jadi nyaman untuk berjalan kaki.

Terletak di dataran tinggi dan dikelilingi bukit dan gunung-gunung membuat Kunming enak cuacanya sepanjang tahun. Bahkan di musim dingin pun cuacanya menyenangkan. Tidak begitu dingin. Matahari pun bersinar cerah.

Golden Horse and Jade Cock Memorial Archways

Tak jauh dari hostel ada alun-alun yang tak terlalu luas. Namanya Golden Horse and Jade Cock Memorial Archways atau bahasa lokalnya Jinma Biji. Dua gapura yang saling berhadapan. Banyak legenda tentang Golden Horse and Jade Cock ini. Sejumlah orang mengatakan Golden Horse (Jinma) adalah perwujudan kuda terbaik di Danau Dianchi, dan Jade Cock (Biji) adalah perwujudan dari merak. Sementara yang lainnya menyebutkan Golden Horse adalah totem dari perunggu yang kaya di Yunnan, dan Jade Cock adalah simbol spritual dari batu giok.

Cerita versi lainnya menyebutkan, Golden Horse merujuk pada gunung curam Golden Horse di Kunming timur, dan Jade Cock adalah barisan gunung Jade Cock yang berkelok-kelok dan indah di bagian barat. Karena merujuk pada letaknya, gapura yang posisinya dekat ke gunung Golden Horse (Jinma) disebut Golden Horse Memorial Arch. Sedangkan gapura yang dekat gunung Jade Cock (Biji) disebut Jade Cock Memorial Arch. Fasad gapura ini detail dan rumit. Tapi yang jelas, sangat khas China.

Pagi-pagi, ramai orang tua yang senam di alun-alun ini. Jelang tengah hari baru muncul turis datang berfoto-foto. Di sekitar alun-alun ini banyak restoran dan bank karena memang pusat bisnis dan perbelanjaan. Tapi saya tidak begitu antusias untuk mengekplorasi. Saya lebih banyak di hostel saja. Menikmati suasananya yang tenang dan familiar. Sore-sore, duduk santai di rooftop dan menikmati pemandangan kota. Saat malam datang, saya baru menyadari sesuatu. Tak jauh dari alun-alun, tampak menara masjid. Dalam hati saya berucap, ternyata di pusat kota ini masjid. Saya hendak ke sana tapi sudah gelap. Besoknya sebelum melanjutkan perjalanan ke Lijiang, saya mendatangi masjid itu. Namanya Yongning Mosque. Saya hanya mengambil foto-foto lalu kembali lagi ke hostel.

Kami pun siap berangkat lagi ke tujuan utama, Kota Kuno Lijiang. Karena menumpang kereta, jadi ya kembali lagi ke stasiun kereta. Tapi kali ini, kami menumpang bus ke stasiun kereta. Berangkat sekitar pukul 09.15 dengan kereta biasa. Perjalanan ditempuh sekitar delapan jam. Di atas kereta, kami bertemu dua mahasiswa yang kuliah di Lijiang. Mereka bisa bahasa Inggris sedikit. Dari merekalah kami mendapat sedikit informasi tentang Kota Kuno Lijiang. Kota kuno yang akan kami jelajahi berikutnya.(*)

 

Golden Horse and Jade Cock Memorial Archway.
Golden Horse and Jade Cock Memorial Archway.

 

 

Masjid Yongning Kunming.
Masjid Yongning Kunming.

 

Warga senam pagi di alun-alun Kota Kunming.
Warga senam pagi di alun-alun Kota Kunming.

(1613)

13 Comments

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.