Jelajah Lombok Part 2: Dari Gili Trawangan ke Pantai Kuta
Tiga Gili salah satu ikon pariwisata Lombok dan populer di kalangan turis. Terutama para backpacker dan anak milenial seperti saya dan kamu. Sehabis dari Senggigi saya melanjutkan petualangan ke Gili Trawangan. Sebelum ke Gili Trawangan saya singgah di salah satu agen travel di Bangsal, kawasan pelabuhan penyeberangan ke Gili. Niatnya mencari info shuttle bus ke Mataram.
Tanpa panjang lebar, saya ditawari paket shuttle bus dengan harga Rp100 ribu termasuk tiket penyeberangan Gili Trawangan pergi-pulang. Saya hitung-hitung, relatif murah. Karena shuttle bus dari Senggigi saja sudah Rp75 ribu. Sementara tarif penyeberangan ke Gili Trawangan dengan public boat Rp15 ribu ditambah uang masuk Gili Trawangan Rp2 ribu.
Saya beli dan diberikan selembar kertas semacam nota. Jadi kita tidak langsung mendapatkan tiket travel dan tiket perahu penyeberangan. Saya lalu diajak ke Pelabuhan Bangsal. Staf hostel itu membeli tiket penyeberangan ke Gili Trawangan untuk saya. Dan dia menyerahkannya ke saya. Loket penjualan tiket ini berada persis di tepi pantai.
Pelabuhan ini tidak punya dermaga. Jadi perahu langsung merapat di bibir pantai dan penumpang harus melepas alas kaki sebelum naik. Kalau mengenakan celana panjang ya mesti digulung supaya tidak basah. Sebelum penumpang naik, lebih dulu barang-barang dinaikkan. Menyusul orang. Perahu akan berangkat setelah penumpang cukup.
Jika bersama rombongan bisa carter perahu ke tiga gili. Tarifnya tergantung jumlah penumpang dan kepintaran tawar menawar. Perahu umum ini beroperasi dari pukul 8 pagi hingga pukul 5 sore. Selain perahu umum, pilihan lainya adalah speedboat yang bisa dicarter dengan tarif antara Rp350 ribu hingga Rp500 ribu. Tergantung tujuannya ke gili yang mana dan pastinya skill tawar menawar.
Carter speedboat pastinya lebih nyaman jika dibandingan dengan perahu umum. Penumpang kapal umum bercampur dengan turis, penduduk lokal, dan barang. Meski begitu, masih leluasa dan nyaman. Perjalanan baik-baik saja. Saya yang suka laut kegirangan melihat air laut dan gili-gili dari kejauhan.
Paling dekat Gili Air. Paling kecil diantara tiga gili. Lalu Gili Meno yang lebih besar sedikit dan di sebelahnya Gili Trawangan yang paling besar. Tak terasa, kapal mendekati Gili Trawangan. Seperti di Pelabuhan Bangsal, kapal merapat ke pantai saat tiba di Gili Trawangan. Pantainya berpasir putih dan air laut yang warnanya bergradasi. Pemandangan yang bikin mata takjub dan terasa adem.
Penumpang turun dari kapal dan langsung ke jalan. Di Gili Trawangan tidak ada kendaraan bermotor. Hanya ada cidomo dan sepeda. Para kusir cidomo menawarkan jasa. Melihat harganya, saya dan turis-turis lainnya memilih berjalan kaki saja. Bayangkan, tarifnya antara Rp50 ribu sampai Rp100 ribu meski jaraknya tidak jauh.
Gili Trawangan luasnya hanya 3 kali 2 kilometer. Buat saya yang suka backpacking jarak itu tidaklah jauh. Aplagi penginapan yang saya booking masih dalam jangkauan dengan berjalan kaki. Lokasinya agak di tengah pulau. Kira-kira 500 meter dari pelabuhan dan pantai timur.
Saya berjalan melewati resort-resort, hotel, dan kafe yang berbaris di pinggir pantai. Lalu agak ke dalam melewati rumah-rumah warga. Gili Trawangan memang banyak penghuni. Layaknya perkampungan dilengkapi fasilitas umum seperti tempat ibadah dan pusat layanan kesehatan. Tapi jalanan hampir tak beraspal. Hanya sebagian yang lapisi paving blok.
Saya sampai di penginapan La Boheme Sister sebelum tengah hari. Tapi saya sudah boleh check in. Tarif per malamnya Rp80-an ribu. Meski homestay yang paling murah, banyak turis asing yang menginap. Saya satu-satunya turis lokal. Suasananya memang menyenangkan. Stafnya bersahabat. Cocok buat budget traveler.
Matahari yang sangat panas di luar membuat saya betah berada di ruang bersama La Boheme Sister. Berada di lantai dua, ruang bersama ini tanpa dinding. Bisa rebahan dengan bantal yang sangat besar atau leyeh-leyeh di atas hammock. Saya menikmati musik, sementara bule-bule pada santai membaca buku.
Angin semilir dari laut membuat acara rebahan terasa semakin nyaman dan mager. Hingga jelang sore dan perut terasa lapar, baru lah saya beranjak dan keluar dari homestay. Enaknya, ada sepeda yang disediakan gratis. Tinggal memilih yang tersedia.
Saya bersepeda ke arah pelabuhan. Melewati resort dan kafe-kafe yang ramai turis. Di pinggir pantai banyak warung-warung kalau tidak mau makan di kafe yang harganya mahal. Saya mendatangi warung ayam penyet dan memesan bersama es teh manis.
Sambil makan, pemandangan pantai berpasir putih dan laut yang berwarna biru membuat makan terasa nikmat. Sehabis makan, saya masih bersantai. Meresapi suasana hingga sore hampir pergi. Saya kembali ke homestay dan lagi-lagi rebahan di ruang bersama. Santai sampai malam dan perut terasa lapar lagi.
Saat saya ke pantai lagi, suasananya semakin meriah. Suara musik mengisi ruang dan udara. Orang-orang menikmati makan malam ditemani hiburan live music. Sisir timur Gili Trawangan ini memang yang paling ramai. Ibaratnya pusat segala aktivitas. Tempat hiburan, kuliner, belanja, dan menginap, semua berpusat di sini.
Restoran-restoran di tepi pantai menawarkan seafood. Tapi saya tidak tergiur dan kembali ke warung yang saya datangi tadi siang. Warungnya tidak menggunakan tenda jadi bebas mengarahkan pandangan ke mana-mana. Dan semakin malam suasana semakin ramai. Orang-orang berpesta. Saya yang tidak terlalu suka keramaian terpancing juga ingin melihat suasana Gili Trawangan malam hari.
Usai makan malam, saya menelusuri jalan tepian pantai yang dijejali resto, kafe, toko, hotel, dan resort. Sesekali saya masuk toko yang menjual sandal atau pakaian bermerk. Saya cuma window shopping saja lalu pergi lagi. Begitu seterusnya sampai kaki pegal.
Bersepeda di Gili Trawangan
Bisa dikatakan, Gili Trawangan adalah sisi lain dari Lombok. Di pulau kecil ini pesta dan hiburan bisa ditemukan di mana-mana. Terutama di sisi timur pulau. Turis bebas berpakaian. Jadi masih terlihat turis-turis yang mengenakan bikini, sarung, atau pakaian yang minim. Mereka menikmati acara berjemur di pantai atau berenang.
Aktivitas turis di Gili Trawangan memang tak jauh-jauh dari wisata bahari. Selain berjemur dan berenang, turis juga bisa snorkeling, scuba diving, dan island hop. Biasanya turis melakukan island hop seharian dari Gili Trawangan, Gili Mano, dan Gili Air. Ada one day tour untuk ketiga gili ini.
Bagi yang ingin bersantai dan menikmati Gili Trawangan saja tidak perlu khawatir. Selain menikmati pantai dan berenang, aktivitas lainnya yang bisa dilakukan adalah keliling pulau dengan sepeda. Mendatangi pantai-pantai yang masih terjaga keindahannya. Atau naik ke bukit di sisi selatan Gili dan menikmati keindahan sunset.
Saya sendiri memilih bersepeda saja mengelilingi pulau. Mumpung ada sepeda gratis yang disediakan La Boheme Sister. Biasanya sewa sepeda di Gili Trawangan kisaran Rp50 ribu untuk satu hari. Karena ada yang gratis, saya bisa menghemat.
Hari kedua di Gili Trawangan ini saya maksimalkan karena rencananya sore hari sudah kembali lagi ke Lombok. Dari penginapan, saya bersepeda ke pantai di bagian timur, lalu ke selatan menelusuri pantai. Tapi ternyata tidak bisa melintas hingga ke barat karena ditutup atau terhalang pagar resort.
Bagian selatan Gili Trawangan ini banyak resort-resort dengan suasana yang tenang. Jadi kalau ingin mencari ketenangan ya pilih penginapan di bagian selatan. Dari selatan, saya berbalik arah ke pelabuhan dan terus mengayuh sepeda ke utara.
Seperti di bagian selatan, resort dan hotel tepi pantai berjejer di utara. Memasuki bagian utara ini sepeda agak sulit dikayuh karena jalanan berpasir. Namanya juga tepi pantai ya. Pasirnya yang putih dan air laut yang seperti kristal dengan warna bergradasi mengalihkan perhatian.
Sepanjang pantai ini suasananya sepi. Hanya sesekali berpapasan dengan orang atau cidomo yang melintas. Suasananya yang sepi membuat saya merasa tenang. Sampai kemudian saya menemukan pantai dengan pemandangan Gili Mano dan Pulau Lombok. Di pantai yang sepi ini, saya menikmati pemandangan yang tersaji. Di kejauhan terlihat beberapa bule yang belajar berselencar.
Demi melihat air laut yang bening, saya melepas pakaian dan mengenakan celana renang. Saya tak khawatir melepas pakaian, toh tidak ada yang melihat dari dekat. Pantai itu serasa milik pribadi. Hanya ada saya seorang dan bebas berenang.
Hingga tengah hari saya menikmati kebebasan berenang atau leyeh-leyeh di pantai. Sempat kepikiran juga kalau saya tenggelam bakalan tidak yang lihat. Tapi pikiran itu segera saya buang jauh jauh dan kembali berenang sampai waktu check out dari hostel hampir tiba.
Saya mengeringkan badan dan berpakaian. Mengayuh sepeda kembali ke hostel. Sinar matahari yang terik membuat saya berpeluh. Setiba di hostel saya membereskan backpack, mandi, kemudian check out. Tak lupa mengembalikan sepeda.
Dari hostel, saya langsung ke pelabuhan dan menunggu perahu yang akan membawa kembali ke Lombok. Di pelabuhan, saya cukup menunjukkan tiket yang sudah dibeli sebelumnya. Selain tujuan Lombok, speedboat dari Gili Trawangan ada yang tujuan Bali. Speedboat yang ukurannya lebih besar.
Kembali ke Lombok
Perahu tujuan Lombok kemudian tiba dan merapat di pantai. Penumpang diturunkan, lalu penumpang baru naik setelah perahu kosong. Naik perahu lagi-lagi harus melepas alas kaki dan mengangkat celana tinggi-tinggi. Perjalanan kembali disuguhi dengan pemandangan pesisir Lombok yang berbukit-bukit.
Setiba di Pelabuhan Bangsal, saya langsung ke agen travel yang sudah menyediakan shuttle bus ke Mataram. Saya dan beberapa turis bule disuruh menunggu tanpa kejelasan. Ternyata mereka tak punya armada sendiri dan harus mencari mobil travel yang sedang kosong.
Kami dibawa dengan mobil sejenis avansa. Bukan minibus seperti yang saya tumpangi dari Senggigi. Kami duduk berdesakan dalam mobil. Rasanya saya dibohongi. Tapi tak mau terlalu ambil pusing. Perjalanan jadi tak begitu terasa hingga sampai kota Mataram.
Satu per satu turis itu turun hingga hanya saya dan sepasang bule yang tersisa. Saya meminta diturunkan di pusat kota. Dekat alun-alun. Setelah saya turun, si sopir meminta uang sewa. Saya terkejut karena sudah membayar sebelumnya dengan agen travel di Bangsal. Tapi katanya mereka tak ada hubungan. Nyesss, saya benar-benar ditipu.
Padahal saya sudah mewaspadai karena beberapa kali membaca di blog dan Tripadvisor soal penipuan di Bangsal. Saya kekeuh bilang sudah bayar, tapi saya tak punya bukti karena kuitansi diambil staf travel itu saat hendak naik mobil. Dia meminta Rp75 ribu, tapi saya bersitegang sampai akhirnya ia minta Rp50 ribu saja. Saya ahirnya merelakan uang Rp50.
Rasanya sesak ditipu di negeri sendiri dan ini pertama kalinya saya mengalami hal seperti itu. Anehnya, si sopir hanya meminta uang kepada saya. Sementara turis-turis yang lebih dulu turun tidak pernah meminta uang sewa. Sebelum mobil itu pergi, saya mengingatkan kepada dua turis bule yang masih di mobil dan akan ke Kuta.
Saya foto-foto mobil itu dan sopirnya segera membawanya laju. Saya berbalik dan melangkah gontai ke alun-alun. Tak semangat rasanya untuk melihat-lihat pusat kota Mataram. Di alun-alun, saya hanya duduk dan menghubungi teman warga asli Lombok. Rencananya saya mau keliling pusat kota bersamanya, tapi hingga jelang malam ia belum datang.
Pelan-pelan, saya melangkahkan kaki ke Islamic Center Mataram. Suara azan berkumandang dan saya mempercepat langkah. Islamic Center atau Masjid Raya Hubbul Wathan ini salah satu ikon dan destinasi wisata religi di Lombok. Bangunannya yang megah membuat terkesima. Bahkan dari jauh.
Masjid yang dibangun sejak tahun 2010 ini memiliki desain yang unik dan indah. Tak hanya dari luar. Masuk ke dalam, desain interiornya makin membuat terkesima. Sangat indah. Tak heran banyak yang berkunjung. Tak hanya dari daerah lain, bahkan dari luar negeri.
Sejenak saya mengagumi keindahannya, lalu ikut salat Magrib berjamaah. Usai salat, saya masih duduk sambil sesekali mendongakkan kepala. Bukan berdoa, tapi mengamati langit-langit masjid yang berhiaskan motif batik dengan warna biru putih. Sementara dinding dan tiang dicat warna keemasan. Perpaduan yang menciptakan keindahan.
Saya bergeser mundur dan bangkit dari duduk. Dari tas ransel saya ternegar bunyi dering handphone. Ternyata teman sudah menghubungi dari tadi. Pesannya melalui WhatsApp tak saya respon hingga ia menelpon. Kami bertemu di halaman masjid, kemudian pergi mencari makan. Perut saya yang kosong sejak saing sudah meronta-ronta.
Ia membawa saya ke warung tenda yang ramai di pinggir jalan. Saya tidak tahu tempat persisnya karena sudah malam. Tidak tampak lagi situasi sekitar. Saya meminta saran menu yang harus dicoba. Ia menyebut bebek dan ayam taliwang. Saya yang tak biasa makan bebek, akhirnya memesan ayam bakar dan sayur plecing.
Kombinasi perut yang keroncongan dan makanan yang sedap membuat saya makan dengan lahap. Habis makan, eh giliran mata yang tak bisa diajak kompromi. Rasanya ngantuk dan kami pun pulang ke rumah teman yang berada di pingggiran kota Mataram.
Pantai Kuta Lombok
Lokasi rumah teman saya lebih dekat ke arah Pantai Kuta. Keesokan harinya sehabis mengajar, ia membawa saya ke Pantai Kuta di kawasan Mandalika. Sebelum Mandalika, kami singgah di Kampung Adat Sade. Kampung adat suku Sasak Lombok ini sangat mudah dicapai karena lokasinya dilalui jalan utama menuju Kuta.
Letaknya di sebelah kiri jalan jika mengarah ke Kuta. Di depannya ada plang Desa Adat Sade dan mudah dikenali karena bentuk rumahnya yang khas. Terutama bentuk atapnya yang tinggi lonjong. Kami memarkir motor kemudian menemui pemandu yang sudah menunggu.
Para pemandu di desa adat ini warga setempat. Pemandu yang mengantar kami, namanya Akbar. Keluarganya penghuni salah satu rumah di perkampungan adat itu. Jadi ia tahu sejarah dan seluk beluk desa dan bangunan rumah yang sudah berusia ratusan tahun. Ia mengantar kami hingga ke bagian dalam perkampungan sambil bercerita.
Salah satu rumah yang kami kunjungi dihuni pasangan yang sudah turun temurun menempati rumah yang berlantaikan tanah. Menurut Akbar lantai itu dilapisi kotoran kerbau sehingga tampak licin bak porselin. Uniknya sama sekali tidak ada aroma-aroma kotoran kerbau.
Di bagian depan rumah, pemilik berjualan souvenir dan gelang. Saya membelinya beberapa. Sementara di seberangnya ada pembuat kain tenun dan hasilnya dijual di tempat itu juga. Selain dihuni, rumah-rumah di kampung itu sudah banyak dijadikan toko penjualan kain tenun dan beragam souvenir.
Tidak lebih dari satu jam, kami sudah selesai mengelilingi kampung yang dihuni 150 KK itu. Saya berfoto di beberapa spot. Salah satunya di lumbung yang berada di bagian depan kampung. Sayangnya semua foto-foto itu hilang ditelan sd card yang corrupt.
Kami lalu pamit dan memberikan tips kepada Akbar. Perjalanan kami lanjutkan ke Mandalika. Perjalanan tidak lama hingga memasuki kawasan Kuta Mandalika. Saya sudah memesan guesthouse di sekitaran Pantai Kuta, jadi kami langsung ke guesthouse dan check in.
Tak seperti yang saya bayangkan, guesthouse ini sangat bagus. Bangunannya dari kayu dan berbentuk rumah panggung. Terpisah dari lobi di rumah batu yang sederhana. Saat itu tamu tidak banyak. Suasananya tenang dengan pohon-pohon rimbun di halaman dan sekelilingnya.
Sore hari kami ke kawasan Mandalika. Cukup jalan kaki karena tak begitu jauh. Daya tarik utama di Mandalika tentunya Pantai Kuta. Kawasan wisata ini sedang dibenahi sehingga berstandar internasional. Meski namanya sama dengan Pantai Kuta di Bali, tentu saja banyak perbedaannya.
Pantai Kuta Mandalika berpasir lebih terang. Pantainya lebih landai. Saat air laut surut, pantai berubah menjadi daratan sejauh kira-kira satu kilometer. Saat kami datang tak banyak turi asing. Hanya beberapa saja yang sedang berjemur. Sementara turis lokal mencari kerang dan siput di pantai yang surut.
Pantai Kuta Mandalika diapit bukit di kedua ujungnya. Pantai ini bersebelahan dengan Pantai Seger. Pantai berikutnya adalah Pantai Putri Nyale dan Tanjung Aan. Resort dan hotel mewah mulai bermunculan di kawasan ini.
Saat asyik-asyiknya duduk santai menikmati suasana pantai, datang penjual gelang menawarkan dagangan. Teman saya menolak tapi mereka tetap nyeyel menawarkan dagangan dengan promosi yang berbuih-buih. Beberapa penjual lainnya saya lihat menghampiri turis-turis bule yang sedang berjemur. Ada yang agak memaksa.
Mereka pergi dan kami melanjutkan leyeh-leyeh. Sayangnya semakin sore, langit semakin kelabu. Tadinya ingin memotret, tapi langit yang suram tak membuat bergairah. Teman saya pamit pulang, sementara saya kembali ke guesthouse. Sejak kembali ke guesthouse saya tidak bisa ke mana-mana lagi karena tidak menyewa kendaraan.
Malam terakhir di Lombok saya banyak di kamar saja. Suasananya yang nyaman dan fasilitas yang relatif baik untuk ukuran guesthouse membuat saya betah. Apalagi turis lain yang sekamar dengan saya tidak pulang-pulang hingga saya tertidur. Saat saya bangun tidur keesokan harinya, mereka sudah tidak lagi.
Saya bangkit dari tempat tidur dan mulai berkemas. Mandi. Kemudian ke teras menikmati udara pagi yang segar. Di teras seorang tamu lainnya sedang sarapan. Saya turun dan menuju lobi untuk meminta sarapan. Sarapannya sederhana saja. Hanya pancake dan teh. Tapi rasanya nikmat.
Usai sarapan, saya mencari mobil untuk mengantar ke Bandara Internasional Lombok. Untungnya di sebelah guesthouse ada agen travel yang menyediakan jasa antar-jemput ke bandara. Sewanya Rp50 ribu. Sambil menunggu waktu keberangkatan, saya santai di teras. Saya berangkat agak siang karena jadwal pesawat memang tengah hari.
Dari Kuta ke Bandara Internasional Lombok tidak begitu jauh. Perjalanan kira-kira 20 menit. Jalanan yang mulus beraspal dan tanpa macet membuat perjalanan lancar. Dan petualangan saya di Lombok pun berakhir! ***
(790)
2 Comments