Mengembara di Kota Arica (Chile), Pertama Kali Merasakan Gempa

 

Pantai di Kota Arica

Seumur hidup, saya belum pernah merasakan langsung gempa di Indonesia. Uniknya, saya justru merasakannya ketika traveling di Amerika Selatan. Tepatnya di Kota Arica. Kota pelabuhan di bagian utara Chile yang berbatasan dengan Peru.

Saya mengunjungi Arica setelah tiga hari bertualang di San Pedro de Atacama. Kota kecil di gurun Atacama, Chile. Selama lebih dari 10 jam saya menempuh perjalanan dengan bus untuk sampai ke Arica. Tiba saat matahari sudah naik dan dijemput kenalan member Couchsurfing di terminal bus.

Arica juga berada di kawasan gurun Atacama. Hanya letaknya di pesisir. Namun hujan sangat jarang terjadi. Makanya kota ini, dijuluki sebagai ‘kota yang tidak pernah hujan’ di bagian paling utara Chili dan juga diberi label ‘kota terkering di dunia.’

Arica persis di sepanjang sisi timur Samudra Pasifik dengan sejumlah pantai yang bisa dikunjungi. Chinchorro, El Laucho dan La Lisera adalah yang paling sering dikunjungi. Selain itu bisa menyusuri jalan pesisir, melalui Cuevas de Anzota dan menemukan Playa La Liserilla yang terpencil jika suka bertualang.

Cuacanya yang baik dan pantainya yang hangat mengundang untuk menikmati matahari terbenam yang romantis. Sangat cocok untuk bersantai di sini sebelum melanjutkan petualang. Apalagi suasananya tenang dan tidak sesibuk kota besar seperti Santiago de Chile.

 Kota Arica
Pemandangan dari apartemen

Teman saya membawa ke apartemennya yang tak jauh dari pantai. Dia tinggal sendiri dan terpisah dari orang tuanya. Setelah memperlihatkan isi apartemenya, ia izin sebentar untuk jogging di tepi pantai. Beberapa menit kemudian, ia mengirimkan foto pantainya.

Tengah hari, kami ke pusat kota. Jalan-jalan ke pusat kota Arica memberikan nuansa tersendiri. Kotanya tidak seperti kota modern yang dijejali bangunan tinggi dan rumah kaca. Nuansanya sangat unik dengan jalan yang berdebu dan sangat panas.

Di kota tuanya kami berhenti dan menikmati suasananya. Di kota tua ini berada Katedral San Marcos yang dominan warna putih dan merah. Katedral ini terkenal karena dirancang Gustave Eiffel. Orang yang sama yang membuat menara Eiffel di Prais.

Gereja ini dibangun sejak tahun 1876, ketika kota Arica masih menjadi wilayah negara Peru dan diresmikan oleh presiden Peru saat itu, José Balta. Di depannya ada Plaza Cristobal Colón. Taman yang sederhana tetapi menarik. Juga Plaza Vicuña Mackenna yang lebih besar.

Area kota tua dan sekitarnya ini jadi tempat kongkow warga lokal. Banyak tempat menarik dan pusat perbelanjaan di sini. Juga kafe-kafe dan restoran bertebaran. Area ini ramai sampai malam. Tetapi kami tidak sampai malam di sini.

Teman saya memberitahu, sore hari akan ada member Couchsurfing lainnya dari Brazil yang datang dan menginap di apartemennya. Meski dia hanya bisa berbahasa Spanyol, tidak jadi kendala karena ada google translate. Jadi kami kalau ngobrol pasti selalu menggunakan bantuan google translate.

Pantai di  Kota Arica
Pantai di Kota Arica

Menjelang malam, ia pergi ke perbatasan Peru yang berjarak belasan kilometer saja dari apartemen. Sementara saya di apartemen menunggu. Tak lama, ia kembali bersama teman Couchsurfing dari Brazil yang baru saja bertualang di Peru. Kami pun berkenalan.

Malamnya, kami tidak ke mana-mana. Di apartemen saja berbagi cerita dan pengalaman selama traveling. Untungnya, teman dari Brazil ini bisa berbahasa Inggris selain bahasa Portugis. Jadi tuan rumah saja yang harus mengaktifkan google translate.

Malam itu, tidak ada fiarasat apapun bakal terjadi sesuatu yang pertama kali saya rasakan. Kami tidur lebih awal karena besoknya mau menjelajahi Arica. Tetapi, subuh, saya terbangun. Ranjang bergetar hebat. getarannya konstan beberapa menit. Menyusul suara sirine meraung.

Ponsel saya juga bergetar dan ada pesan masuk telah terjadi gempa di Peru dan dekat perbatasan. Saya yang belum pernah merasakan getaran seperti itu syok. Rasanya mencekam. Tetapi teman saya tenang saja dan memberitahukan sedang terjadi gempa.

Sirine yang meraung tanda peringatan dini tsunami terus berbunyi. Teman saya memberitahukan kami untuk mengemas barang penting saja dan sedikit camilan dalam backpack. Ternyata warga diminta mengungsi segera mengungsi ke tempat ketinggian.

Saya melongok keluar dan tidak ada ada tanda-tanda kepanikan warga. Seolah tak terjadi apa-apa. Jadi saya ikut tenang. Begitu keluar dari apartemen menuju mobil, penghuni lainnya sudah antre keluar dari komplek apartemen. Mobil kami ikut antre.

Baru juga mendekati gerbang, sirine peringatan dini tsunami berhenti. Artinya kondisi sudah aman. Sebagian kembali ke apartemen. Tetapi kami melanjutkan dan ingin melihat suasana kota dan pantai. Sepanjang jalan yang kami lalui, seolah tidak terjadi sesuatu. Sedikit pun tak terlihat evakuasi warga.

Kami kembali ke apartemen untuk tidur supaya besoknya bangun tidur dengar segar untuk mengunjungi beberapa objek wisata. Rencananya kami akan jalan-jalan seharian. Kami bangun sesuai rencana. Gempa yang terjadi semalam sudah terlupakan demi melihat matahari yang bersinar cerah.

Bertiga kami berangkat dari apartemen. Melalui jalur pantai (playa). Melewati Playa Chinchorro, Puerto de Arica, Morro de Arica, Playa El Laucho, dan Playa La Lisera. Terus ke Playa La Capilla, Playa Corazones, dan berhenti di Playa La Liserilla.

Cuevas De Anzota

Kami mengunjungi Cuevas De Anzota, gua di tepi dengan pemandangan yang indah. Setelah memarkir mobil dan mendaftar, kami masuk saja karena gratis. Melalui jalan beton di antara tebing bergerigi dan laut. Pemandangan sepanjang jalur ini menarik.

Hingga tak terasa sudah sampai di mulut gua. Kami masuk ke dalam dan hawa dingin dari hembusan angin menyentuh kulit. Sangat berbeda dengan suhu di luar yang panas. Di dalamnya dapat melihat formasi gua-gua dan tebing. Juga fauna di wilayah tersebut.

Gua ini penting bagi orang-orang pertama yang mendiami kawasan gurun ini. Gua yang digunakan masyarakat Chinchorro sekitar 9000 yang lalu. Di tempat ini pengunjung bisa mendaki dan trekking sambil menikmati panorama alam yang mengelilinginya.

Di ujung gua, kami melanjutkan mendaki bukit yang berpasir. Jalur ini menawarkan pemandangan indah bukit pasir yang kontras, tebing berbatu, dan laut biru yang dalam. beberapa menit mendaki, kami sampai di area yang datar dan melihat jajaran pantai dan bukit batu.

Tengah hari, kami kembali ke pusat kota. Tak jauh dari Plaza Vicuña Mackenna terdapat Puerto de Arica, pelabuhan industri dan pasar ikan Arica. Tak jauh dari pasar ini kami makan dan menikmati makanan lokal. Kami ditraktir temannya teman yang baru ikut bergabung.

Usai makan, kami lanjutkan lagi melanjutkan jalan-jalan. Kalau tadi kami ke arah selatan. Sekarang kami ke bagian utara Arica. Melalui Playa Chinchorro, Playa Las Machas, dan berhenti di Humedal Rio Lluta. Kawasan margasatwa yang dilidungi. Di sini bisa melihat burung-burung dan fauna lainnya.

Kami menelusuri muara sungai menuju laut. Sungai ini mengalirkan air dari gurun. Airnya jernih dan hangat. Kami kemudian menikmati pantai yang berpasir kecokaletan. Teman saya membuka baju dan berjemur, sementara saya berlindung di balik topi karena panas.

Sementara teman dari Brazil menerbangkan drone. Dia menunjukkan pemandangan yang terekam di ponselnya. Tetapi tidak lama karena ada petugas yang datang meminta drone itu segera diturunkan. Dia nyaris saja didenda. Untungnya teman yang orang lokal bernegosiasi hingga petugas itu pergi.

Menjelang matahari terbenam, kami kembali lagi ke pusat kota. Tujuan terakhir adalah El Morro, landmark Kota Arica berupa bongkahan batu besar yang menjulang di pusat kota. Tempat ini bersejarah karena lokasi ini tempat pertempuran terakhir di mana Chili mengalahkan Peru pada tahun 1880.

 Kota Arica
Pemandangan Kota Arica dari El Morro

Untuk naik ke atas bisa berjalan kaki singkat selama 15 menit ke puncak atau dengan kendaraan. Karena kami menumpang mobil, kami tak perlu berjalan kaki. Dari pusat kota, bukit ini terlihat jelas. Apalagi ada bendera raksasa Chili berkibar di atas.

Sesampai di atas El Morro, mobil kami parkir dekat tiang bendera raksasa Chili. Pemandangan dari atas batu ini menakjubkan. Menawarkan pemandangan Samudera Pasifik dan hampir keseluruhan kota Arica, pelabuhan, dan jalan pantai sepi yang membentang ke selatan menuju pantai El Laucho, dan La Lisera.

Di El Morro ini ada Museum Senjata yang kecil namun sangat informatif yang menjelaskan pentingnya batu besar ini dan pertempuran antara Peru dan Chili pada abad ke-19. Senapan tua, meriam, dan senjata lainnya ditampilkan termasuk seragam yang dikenakan para prajurit.

Saat matahari mulai tenggelam di ufuk, kami berdiri di tepian bukit menyaksikan matahari kembali ke peraduan. Sungguh indah. Sekejap saja, langit sudah gelap dan kota mulai bermandikan cahaya lampu. Akhir sempurna dari perjalanan kami hari itu hingga terkenang sampai kini. (*)

 

(86)

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.