Homestay di Turki (part-1): Kehangatan di Meja Makan Malam
Selama sembilan hari, saya homestay di Turki. Di rumah keluarga Turki di Istanbul, pada pertengahan hingga akhir November lalu. Selama homestay di Turki, segala aktivitas sehari-hari warga Turki terekam dan turut saya lakoni.
Hembusan angin menyapa ketika menjejakkan kaki di luar ruang kedatangan Bandara Internasional Ataturk, Istanbul, Turki. Hebusannya menerobos sweater yang saya kenakan. Dinginnya serasa menusuk kulit dan masuk pori-pori.
Sementara, matahari bersinar terang. Langit membiru tanpa awan. Tetapi cahaya matahari tak mampu mengalahkan suhu dingin Istanbul. Memang ketika tiba pertengahan November lalu, Turki dan negara-negara Eropa lainnya mulai memasuki musim dingin (winter).
Di bandara, saya dijemput teman dan anak dari pasangan Hasan Temur dan Sultan Temur, keluarga Turki yang akan saya tinggali rumahnya selama sepekan. Namanya Beytullah Temur, 29. Dari ruang kedatangan, kami langsung menuju stasiun Metro, kereta bawah tanah (subway) di Istanbul.
Metro ini menghubungkan langsung Bandara Internasional Ataturk yang berada di Istanbul bagian Eropa dengan kota-kota lainnya di Istanbul sisi Eropa dan Istanbul di sisi Asia.
Turki memang di kawasan Eurasia. Wilayahnya terbentang dari Semenanjung Anatolia di Asia Barat Daya dan daerah Balkan di Eropa Tenggara. Turki berbatasan dengan Laut Hitam di sebelah utara, Bulgaria di sebelah barat laut, Yunani dan Laut Aegea di sebelah barat. Georgia di timur laut, Armenia, Azerbaijan, dan Iran di sebelah timur, dan Irak dan Suriah di tenggara, dan Laut Mediterania di sebelah selatan.
Laut Marmara yang merupakan bagian dari Turki digunakan untuk menandai batas wilayah Eropa dan Asia, sehingga Turki dikenal sebagai negara transkontinental. Sebagian besar wilayah Turki di daratan Asia. Hanya Propinsi Istanbul yang terbagi dua dan dipisahkan selat Bosphorus. Namun Istanbul sisi Eropa dan Istanbul sisi Asia dihubungkan dengan empat jembatan. Yang terkenal, jembatan Bosphorus dan jembatan Galata.
Untuk pergi ke sisi Asia atau sebaliknya, ke sisi Eropa, berbagai macam transportasi publik tersedia. Mulai bus, tram, metro, hingga kapal feri. Semua tranportasi publik ini terintegrasi. Teman saya mengajak menggunakan Metro dari Bandara Attaturk. Salah satu jalur Metro ini berada di bawah laut Bosphorus. Terowongan ini sebagian baru saja digunakan Oktober 2014. Nantinya akan menghubungkan Istanbul sisi Eropa dan Asia.
Untuk menumpang Metro atau pun transportasi publik lainnya, bisa menggunakan Instanbulkart. Sekali naik 2 TL (1 Turkey Lira Rp5.500). Kalau bayar tunai 3 TL. Dengan Istanbulkart ini pembayaran diskon, bisa digunakan oleh beberapa orang. Jadi ketika saya tak punya Istanbulkart, teman saya menempel kartunya dua kali.
Setelah menumpang Metro, kami kemudian menyambung dengan bus dari Sirkesi, masih di Istanbul Eropa menuju tempat parkir umum di Istanbul Asia. Di Istanbul tersedia parkir umum yang luas dan tidak dipungut bayaran. Di tempat parkir ini, Beytullah memarkir mobilnya dengan aman sampai ia kembali lagi.
Dengan mobilnya yang berwarna putih, kami menuju rumahnya di Atasehir. Keluarga ini tinggal di apartemen pribadi yang berlantai empat. Pasangan Hasan Temur dan Sultan Temur menempati apartemen paling atas bersama anaknya yang belum menikah. Sementara di lantai tiga dan lantai satu ditempati dua anaknya yang sudah berkeluarga. Seldar Temur di lantai tiga dan Sadullah Temur di lantai satu.
Ketika tiba sore hari, hanya istri Hasan yang ada di rumah. Ia sedang memasak sup untuk makan malam di dapur. Saat musim dingin, malam datang lebih cepat. Wanita paruh bayah ini menyambut dengan ramah dan hangat. Ia mengenakan jilbab dan saya tak menyentuhnya ketika bersalaman.
Beytullah telah mengingatkan sebelumnya untuk tidak menyentuh wanita-wanita di rumahnya sedikit pun karena bukan muhrim. Beytullah dan saudara-saudaranya memanggil ibunya dengan panggilan Anne. Di Turki, panggilan umum untuk ibu adalah Anne, sementara ayah, dipanggil Baba. Saya pun ikut-ikutan memanggil Anne.
Meski tak bisa berbahasa Inggris dan menyapa saya dengan bahasa Turki, keramahan Anne begitu tampak di wajahnya. Melihat saya tak menggunakan kaos kaki, ia segera meninggalkan masakannya dan bergegas ke kamar mengambil kaos kaki untuk saya. Anne sangat khawatir karena cuaca sangat dingin.
Lantai saja terasa dingin begitu dipijak. Ia kemudian kembali dengan kaos kaki warna hitam dan menyuruh saya segera mengenakannya. Tentunya dengan bahasa Turki ditambah bahasa isyarat. Saya tertawa karena tidak terbiasa mengenakan kaos kaki di rumah.
“Tadi itu Anne sangat khawatir sama kamu karena cuaca di sini (Istanbul) sangat dingin. Dia takut kamu sakit,” ujar Beytullah menerjemahkan ucapan Anne.
Selesai memasak, Anne langsung menghidangkan makanan di ruang keluarga. Ruang-ruang di apartemen itu tersekat-sekat. Tidak ada yang menyatu. Ane menghidangkannya di meja bundar. Di bawah meja sudah ada karpet, tetapi di kaki meja dialas lagi kain lebar. Sementara mejanya sendiri tidak dialas karena makanan langsung diletakkan di atasnya.
Di atas meja sudah tersedia piring untuk sup dan sendok serta garpu. Roti sebesar lengan atas orang dewasa diletakkan begitu saja di meja. Sepiring salad tomat, sayur, dan seledri. Nasi dan sup masih di panci dan diletakkan di bawah meja. Sup kemudian dibagi-bagikan ke piring masing-masing. Sepotong roti. Roti ini karena ukurannya besar, harus dipotong-potong ketika akan disantap dengan sup.
Salad tomat, sayur daun selada, buah zaitun, cabe besar dan seledri, tidak dimasak. Hanya dicampur diberi garam, perasan lemon, dan ditambahkan sedikit minyak, kemudian bisa disantap langsung. Masakan Turki memang tidak banyak bumbu.
Seledri yang dimakan langsung seperti daun selada diberi garam dan perasan jeruk lemon oleh Anne di atas meja, lantas makan malam pun dimulai. Makan malam sekitar pukul 17.00 waktu Turki. Minumannya disediakan teh hangat dan ayran. Ayran adalah seduhan yogurt yang dikocok dengan air putih. Karena yogurt asli, rasanya sangat asam.
Makan malam pertama, hanya kami berempat. Saya, Anne, Beytullah, dan Fatma, istri Sadullah yang datang bergabung. Makanan itu disantap bersama-sama dari satu piring. Kecuali sup yang sudah dibagi-bagikan ke piring masing-masing. Salad tomat diambil langsung dari piring besar dengan garpu kemudian langsung dimasukkan ke mulut. Kami makan dengan duduk dengan kedua kaki terlipat menyanggah badan. Bukan bersila seperti di Indonesia. Paha ditutupi dengan kain pengalas tadi.
“Di Turki, kami terbiasa makan dengan meja rendah dan duduk melantai,” kata Beytullah, satu-satunya yang bisa berbahasa Inggris di keluarga itu.
Kami makan sambil mengobrol. Anne menyuruh saya makan sebanyak-banyaknya. Ketika makanan saya sudah ludes, ia menambahkan lagi dan meletakkan sepotong roti lagi. Usai menyantap sup daging, ia mengambil piring saya dan menaruh nasi.
Nasi Turki sangat lezat dan gurih karena cara masaknya berbeda dengan di Indonesia. Beras direndam air hangat selama sepuluh menit kemudian dimasak seperti memasak nasi goreng dengan margarin. Setelah setengah matang ditambahkan kaldu ayam dan garam. Dimasak sampai matang. Setelah matang panci tetap ditutup dan diselimuti dengan kain tebal kira-kira hingga sepuluh menit.
Makanan rumahan atau buatan sendiri masih disukai oleh orang Turki. Meskipun cara baru diperkenalkan untuk mendorong generasi baru untuk makan di luar, orang Turki umumnya lebih memilih untuk makan di rumah.
Pada umumnya, di musim dingin, makanan khas dimulai dengan sup diikuti dengan hidangan yang dibuat dengan sayuran atau kacang-kacangan direbus dalam panci, biasanya dengan daging atau daging cincang. Kemudian nasi atau bulgur pilaf selain dari salad atau cacık (terbuat dari yoghurt yang diencerkan dan timun cincang). Makanan khas lain yang sering disajikan adalah kacang kering dimasak dengan daging atau pastırma dicampur atau dimakan dengan nasi pilaf dan cacik.
“Kami lebih suka makan masakan Anne di rumah daripada makan di restoran,” ungkap Beytullah. Begitulah kebiasan yang saya temukan selama homestay di Turki dengan orang lokal. (bersambung)
(1252)
Woow seru juga ya CSan ke Turki.
Ini gak pake CS. Teman, ketemu di facebook 🙂
Seru banget bisa ngerasain langsung kehidupan sehari-hari masyarakat Turki…
Dan btw, bang Uma benar, tukang sayurnya cakep 😀
Iya, saya banyak melakukan aktivitas layaknya warga lokal.
Hahaha, foto itu hanya untuk memancing pembaca perempuan.
menyenangkan banget cerita mu kak..apalagi berada dalam satu keluarga gitu..
Tuan rumahnya baiiiikkk banget. Sampe saya kunjungi mereka lagi!
Kog ga bawa pulang cewe kece Turki bang.. Hahaha…
Terlalu banyak yang kece, sampe bingung milihnya. Hahahaha
Menarik juga ya perjalanannya.. Seru..
Kalo kita mau mencoba sesuatu yang baru dan gak tourist minded bakalan seru deh 🙂
duh jadi pengen ke turki, ceweknya cantik cantik ya 😀
Di sana semua kelihatan indah-indah kakak 🙂
Ramah bgt ya, kalo aku pasti sungkan bgt dijamu gitu ramahnya
Saya jadi nyaman karena ramahnya. Sungkan tapi gak bikin kikuk. Ya kayak bertamu di rumah sodara sendiri 🙂
Seruu!
Bisa ke Asia atau ke Eropa sekaligus..
Hehehe
Kalo homestay gini memang sesuatu yang wajar di sana bang?
Maksudnya, available tiap saat gitu?
Iya, sekali berkunjung bisa menyambangi dua benua. Sekitar 20 menit menumpang feri sudah sampai di Benua Eropa atau sebaliknya. Kalo homestay seperti ini saya biasa menggunakan Couchsurfing, bisa available kapan saja.
Noted untuk couchsurfing-nya bang.
Seru banget kayanya ya. Mantap!
Pake couchsurfing pastinya seru. Bisa merasakan nuansa lokal 🙂