Tersesat di Kota Tua Medina Marrakech
Kota tua selalu masuk daftar must visit ketika saya traveling. Kota tua ini selalu menarik karena dari sinilah awal satu kota bermula. Begitu memutuskan jalan-jalan ke Marrakech, Maroko, saya langsung mencari informasi kota tuanya. Old Medina Marrakech.
Kota tua di Maroko umum disebut Medina. Jadi jangan heran kalau pernah mendengar Old Medina Fez, Old Medina Marrakech, dan Old Medina Casablanca. Semua kota tua Medina itu di Maroko. Tapi kali ini, saya hanya mengunjungi Old Medina Marrakech. Meski saya juga sempat mengunjungi Casablanca, kota bisnis Maroko.
Marrakech sendiri berada di kaki pegunungan Atlas. Di tengah padang pasir. Tak jauh dari Gurun Sahara. Sekitar 300 km dari Casablanca. Tempat saya mendarat pertama kali di Negeri Maghribi. Kota Marrakech terbagi dua. Kota modern yang bergaya Eropa modern di Gueliz dan kota tua yang kental aroma Afrika berada di Medina. Dua sisi yang sangat bertolak belakang, namun keduanya unik.
Old Medina Marrakech sudah terkenal dengan bentuknya yang seperti labirin raksasa. Kota tua ini dikelilingi tembok berwarna merah terakotta yang memisahkannya dari kota modern. Pintu masuk Medina ditandai dengan gerbang berbentuk tapal kuda. Gerbang ini menyebar di berbagai sudut kota. Beberapa di antaranya terkenal karena fasadnya yang berukir indah seperti Bab Doukkala dan Bab Moussoufa. Bab ini berarti gerbang dan sedikitnya ada 24 bab.
Saya memasuki kota tua dari Gueliz melalui Bab Doukkala. Ini atas saran teman saya. Berbekal peta digital dan GPS, saya mulai menyusurinya dengan jalan kaki. Awalnya berjalan baik ketika baru melewati bab. Bangunan berbentuk kotak mengapit jalan. Kesannya kumuh. Jalanan becek dengan lumpur berwana hitam. Jalanan itu banyak cabang. Dari satu cabang menjadi bercabang-cabang. Terkadang hanya berupa lorong kecil selebar satu meter.
Meski begitu, banyak turis lalu lalang. Berjalan sambil menggerek koper. Suara roda kopernya sering tersentak-sentak karena jalanan berbatu tak rata. Lainnya menggendong backpack. Mereka kadang berhenti sejenak, mengamati, dan memerhatikan peta di tangan. Turis banyak yang tinggal di dalam kota tua ini karena memang ada banyak riad (rumah tradisional) yang disewakan. Namun banyak juga yang datang untuk menjelajahi keunikannya.
Di sini, nuansa tradisional dan eksotisme Afrika benar-benar terasa. Tembok bernuansa cokelat tanah dengan rak berisi aneka kerajinan, lampu hias mengantung di mana-mana atau karpet yang terjuntai dari lantai dua. Sesekali tercium aroma amis dari penyamakan kulit. Suara gerinda dari rumah pengrajin yang terasa mengiris-iris kuping. Bangunan itu sambung-menyambung dan tanpa celah untuk melihat petunjuk sebagai orientasi. Sesekali saya melihat peta digital.
Tujuan saya Ben Youssef Medresa dan Marrakesh Museum yang berdekatan. Ben Youssef Medresa, madrasah tertua di Afrika Utara, bersebelahan dengan Masjid Ben Youssef. Di depannya Tomb of Sidi Abdel Azis. Ben Youssef Medresa dan Masjid Ben Youssef seperti bangunan lama di Maroko yang kental dengan warna merah terakotta dan ornamennya yang indah. Dari tempat ini, saya meneruskan langkah ke Museum Fotografi Marrakesh.
Setelah dari House of Photography in Marrakesh, saya melangkah saja mengikuti kaki membawa. Mata terbuai dengan keunikan Medina dan kamera saya maksimalkan untuk mengambil gambar. Seringkali saya mesti berhati-hati untuk mengambil gambar. Terutama bila tidak ada tanda ‘dilarang memotret’ tertempel di dinding. Sebab, banyak objek yang tidak boleh difoto di Maroko.
Tak terasa, saya semakin jauh ke dalam dan tidak mengingat jalan yang telah saya lalui. Bagaimana bisa mengingatnya? Jalan yang bercabang-cabang sungguh rumit. Kadang buntu dan saya mulai kehilangan orientasi. Saya tidak tahu apakah berjalan lurus dan maju atau berputar-putar saja. Saya pun tersadar telah tersesat.
Namun saya tetap berusaha santai dan tidak terlihat panik. Saya tidak mau mengundang perhatian orang-orang yang katanya suka menipu. Saya masih percaya pada GPS dan mengikuti petunjuk, tetapi tidak berhasil. Jalan menuju tempat yang saya ingin tuju tidak benar. Malah membawa saya ke tempat lain. Tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali. Baru kali ini GPS benar-benar tidak bisa diandalkan.
Saya terjebak di tengah labirin yang tersusun dari puluhan lorong. Ratusan gang sempit yang bercabang dan saling berkait sebelum akhirnya bercabang kembali. Sejumlah warga lokal melihat kerisauan saya dan mereka ‘berusaha’ membantu. “Jalan ke alun-alun ke sana,” katanya sambil berlalu. “Jemaa El-fna di sana,” kata yang lain sambil menunjuk arah. Saya tidak menanggapinya dan tidak begitu saja percaya dengan mereka.
Naluri, peta digital, dan sedikit informasi pada papan petunjuk saya andalkan. Kali ini, naluri lebih besar porsinya ketimbang papan petunjuk dan peta. Karena ini bukan tersesat biasa. Di mana kita tahu arah tetapi tidak tahu harus jalan mana yang mesti dilalui. Ini benar-benar tersesat yang luar biasa. Bayangkan, saya berjam-jam melangkah tanpa arah jelas hanya untuk keluar dari labirin. Jemaa El-fna yang jadi petunjuk tak kunjung saya temukan.
Saya menoleh ke atas dan melihat papan petunjuk berwarna hijau dengan tulisan berwarna putih. Tertulis petunjuk arah ke Jemaa El-fna. Hati saya berdesir. Sedikit kegembiraan muncul. Kaki terus melangkah dan menemukan pasar (souk) yang saya kunjungi sehari sebelumnya. Hiruk-pikuk pedagang membuat riuh. Para penjual kerajinan tembaga khas Afrika Utara, lampu kristal, kaca patri, rempah-rempah hingga permadani. Aroma rempah, asap dari rumah makan, dan bau amis bercampur baur.
Keluar dari pasar, saya menemukan Jemaa El-fna. Jantung Old Medina Marrakech. Melepaskan pandangan pada alun-alun yang mulai riuh ini. Lalu melebur dalam riuhnya Jemaa El-fna. Menikmati bebunyian dari musik jalanan, menyesap aroma Couscous dan Tagine, dan terkesima atraksi sulap. Ada perasaan benci karena tidak bebas memotret. Tetapi rasa cinta mampu mengalahkan segalanya. Yah, saya jatuh cinta pada negeri ini dan ingin kembali.
Mewujudkan Impian ke Maroko
Impian mengunjungi Maroko di tanah Afrika sejak lama saya simpan. Sejak melihat tayangan-tayangan di televisi yang memperlihatkan betapa eksotisnya Maroko. Perpaduan budaya Arab, Afrika, dan Eropa. Dari situ, sesering mungkin saya kemudian mencari tiket pesawat murah yang bisa membawa ke Maroko. Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Saya menemukan tiket yang murah banget. Hanya Rp 4,6 juta dari Kualalumpur ke Casablanca, Maroko. Itu harga tiket pulang-pergi.
Bagi saya yang tinggal di Batam, Kualalumpur lebih mudah dijangkau. Jadi meski harus mengeluarkan
biaya tambahan dari Batam ke Kualalumpur, hitung-hitungan saya tetap murah. Bagaimana tidak murah, maskapai yang akan saya tumpangi Saudi Airlines. Saya sudah pernah menumpang maskapai Arab Saudi ini sebelumnnya dan sangat menyenangkan karena full service. Tiket ekonomi tetapi pelayanan tetap maksimal.
Lalu dari mana saya bisa menemukan tiket murah itu? Saya kasih bocorannya ya! Sejak saya memulai
backpacking tahun 2012 silam, saya sudah langsung menggunakan Skyscanner. Setiap mencari tiket murah, saya langsung membuka situs travel ini. Kenapa? Dari pengalaman saya, situs travel ini gratis, jadi kamu bisa gunakan kapanpun juga. Nah yang lebih menyenangkan, harga tiket penerbangan yang ditampilkan jujur.
Jadi kalau menggunakan Skyscanner, lalu ingin menelusuri harga tiket sesuai tanggal yang kamu pilih, nanti akan muncul beberapa pilihan harga tiket dan maskapai. Mulai dari yang sangat murah sampai yang mahal. Kamu bisa mencari tiket pulang-pergi dan pergi atau pulang saja. Dari deretan harga tiket yang dimunculkan kamu bisa membandingkan harga tiket dan maskapainya. Kamu pun bisa memilih sesuai bujet.
Dengan begitu, kamu bisa hemat waktu karena semua harga tiket beragam maskapai bisa muncul dalam satu kali pencarian saja. Hemat waktu, hemat uang pastinya. Apalagi harga tiket yang ditemukan juga murah. Karena itu, situs travel ini terpercaya di seluruh dunia dan banyak digunakan.Tidak hanya untuk mencari harga tiket, Skyscanner juga bisa untuk mencari hotel. Bahkan penyewaan kendaraan di tempat yang akan kamu kunjungi di seluruh dunia. Makanya, ketika mau traveling, pasti saya selalu mengingat Skyscanner.***
(714)
Ularnya macam di tipi2 ya bang.. wkwk…
Wkwkwkw, kok fokus ke ularnya. Iya banget lah! π
ah suka banget dengan cerita ini
Makasih kaka π
Terima kasih ya sudah ikutan Blog Competition “Aha Moments” Skyscanner Indonesia. Good luck π
Terima kasih banyak. Saya masih perlu belajar dengan mastah-masta seperti mas Deddy π
Jejak. Terima kasih sudah berpartisipasi. π
Terima kasih juga sudah meninggalkan jejak π
an instagenic place! Cantik banget asli ini bang Umaa.
Tiap sudut kece banget buat foto, tapi mesti hati-hati juga. Gak bisa sembarangan motret π
gmana mksudnya gak boleh sembarangan motret mas?
Jadi di sana itu, objek foto seperti orang itu gak boleh langsung main jepret gitu. Bisa kena tegur. Trus barang jualan di pasar atau toko khusus gak boleh difoto juga. Gak semua sih, tapi sebaiknya bertanya dulu atau minta izin sebelum motret. Nah kalau atrakasi di alun-alun Medina itu juga paling parah, kalau motret harus bayar.
[[Tetapi rasa cinta mampu mengalahkan segalanya. Yah, saya jatuh cinta pada negeri ini dan ingin kembali.]]
Suka bagian ini π
Haha, karena memang-memang dunia yang berbeda. Banyak hal-hal baru yang ditemui dan jadi banyak pelajaran