Solo Traveling di Marrakech Maroko

Traveling di Marrakech

Traveling di Marrakech bermula dari Casablanca. Kereta yang saya tumpangi tiba di Marrakesh sore hari setelah menempuh perjalanan selama tiga jam. Saat turun dari kereta, matahari sudah di ujung ufuk barat. Suhu pun semakin menurun hingga membuat saya sedikit kedinginan. Di Maroko memang sudah masuk musim dingin. Segera saya melangkahkan kaki masuk stasiun kereta untuk mengindari suhu dingin.

Stasiun kereta Marrakesh tidak begitu besar. Tapi tampak megah karena bangunannya yang tinggi. Di dalam ada beberap cafe dan restauran. Termasuk restauran makanan siap saji. Saya lalu mencari-cari restauran untuk nongkrong sambil menunggu teman yang menyediakan tempat nginap kembali ke apartemennya. Saya akhirnya nongkrong di McDonald. Memesan ayam goreng plus nasi dan minuman.

Sejam kemudian, teman saya menghubungi. Ia sudah kembali ke apartemennya. Saya berkemas dan memanggul ransel. Tetapi begitu keluar dari stasiun kereta, gerimis turun. Suhu udara makin dingin. Untungnya saya membawa jaket yang sekaligus bisa melindungi dari hujan. Untuk menutupi kepala, saya menggunakan koran.

Traveling di Marrakech
Kereta kuda di pusat kota

Apartemen teman saya tidak terlalu jauh. Hanya kira-kira 800 meter dari stasiun kereta. Tidak sulit menemukannya karena dipandu GPS. Selama di Maroko saya menggunakan kartu lokal yang saya dapatkan di Bandara Casablanca. Kartu itu diberikan gratis, bahkan diberikan 2 sekaligus. Paket datanya cukup untuk mengirim pesan melalui Whatsapp dan membuka peta.

Tak terasa lelahnya, saya sudah sampai di apartemen. Kami akhirnya bertemu langsung setelah selama ini hanya ngobrol lewat pesan WA. Ia membuatkan teh hangat untuk menghalau suhu dingin. Kami duduk menikmati teh sembari ngobrol. Saya juga meminta rekomendasi tempat-tempat yang menarik dikujungi di Marrakesh. Ia memberikan peta digital yang sudah menandai objek wisata.

Saya cuma dua hari di Marrakesh, jadi saya menyusun itinerary malam itu. Saya memasukkan kawasan kota tua Medina, alun-alun Jemaa El-fnaa, Palais de la Bahia, Palais el Badii, dan Tomb of Saadiens, untuk must visit. Tempat-tempat ini katanya sangat eksotis dan khas Maroko. Selebihnya, tergantung kesempatan.

Keesokannya baru saya mulai menjelajahi Marrakesh atau Marrakech. Dari apartemen, saya mengambil jalan lurus saja dan mengarah ke Jemaa El-fnaa. Saya jalan kaki saja. Toh masih pagi dan agak dingin meski matahari bersinar terik. Sepanjang jalan terlihat ciri khas bangunan di Marrakesh. Berbentuk kotak dan berwarna merah tanah.

Ciri dan keunikan Marrakesh ada pula pada lanskap kotanya. Ada pembagian area yang mencolok yakni kawasan kota tua dan kawasan kota modern. Apartemen teman saya lokasinya di Gueliz, kawasan kota modern. Sementara kota tua berada di Medina. Saya jalan kaki dari Avenue Muhammed V di kawasan Gueliz. Dari jalan itu, terlihat Menara Koutoubuia Marrakesh. Padahal jaraknya sekitar 2,6 kilometer.

Traveling di Marrakech
Masjid Koutoubia dan menara Koutoubia

Bangunan setinggi 77 meter itu sesungguhnya menara Masjid Koutoubia dan menjadi ikon Marrakesh. Dari kejauhan menara tampak putih. Tetapi begitu saya makin mendekat, warnanya ternyata warna merah tanah. Menara ini persis di pojok masjid. Ada taman luas mengelilinginya.

Lokasi masjid dan menaranya berada di Avenue Mohammed V. Jalan yang menghubungkan Gueliz dan Medina. Hanya 200 meter dari Jemaa El-fnaa. Karena dekat dari Jemaa El-fnaa, kawasan ini jadi titik pertemuan wisatawan.

Saya duduk-duduk sambil mengamati masjid dan menaranya. Mengamati aktivitas warga Maroko dan turis yang ramai. Saya tertarik mengunjungi masjid ini sebab sejarahnya. Dulunya menjadi pusat belajar kitab di zaman dahulu. Tetapi saya tidak bisa masuk ke dalam masjid karena belum waktu salat. Masjid di Maroko umumnya hanya dibuka pada waktu salat.

Dari taman Masjid Koutoubia, saya menuju Jemaa El-fnaa. Sepanjang jalan kereta kuda diparkir menunggu turis yang ingin keliling kota. Sesampai di alun-alun yang luas ini, saya agak heran. Suasananya agak sepi. Tidak riuh seperti yang pernah saya lihat dalam film dan tayangan wisata di televisi. Alun-alun ini setengah dikelilingi bangunan toko, kafe dan pasar.

Jemaa El-fnaa
Souk

Karena tak menemukan keriuhan itu, saya masuk ke dalam pasar tradisional (souk). Di pasar keriuhan itu mulai tampak. Khas pasar tradisional. Barang-barang khas Maroko dan souvenir yang unik banyak dijual dan digelar di lapak tanah. Toko-toko diselang-selingi kafe yang banyak dikunjungi turis. Masuk lebih dalam ke pasar ini membuat bingung karena bak labirin. Tak mau tersesat terlalu cepat, saya kembali ke alun-alun. Lalu mencari Palais de la Bahia.

Lokasi istana ini tak terlalu jauh dari Jemaa El-fnaa. Bisa dijangkau dengan jalan kaki. Palais de La Bahia alias Istana Bahia terletak di 5 Rue Riad Zitoun el Jdid. Masuk ke istana cukup membayar 10 dirham atau setara dengan Rp 15 ribu. Istana ini sudah tidak ditinggali jadi sekarang sebagai museum saja. Istana yang disebut hadiah raja kepada ratu Bahiya ini terdiri dari 160 ruangan. Fasad bangunan sangat indah dengan ukirannya. Langit-langitnya pun eksotik.

Satu jam, cukuplah untuk melihat ruang-ruang yang sebagian memamerkan foto. Saat tengah mengamati ruang-ruang istana, saya bertemu beberapa orang Indonesia. Kami saling meminta bantuan untuk berfoto. Usai berfoto, saya meninggalkan Istana Bahia dan melangkahkan kaki ke Palais El Badii. Letaknya juga tak jauh dari Istana Bahia, jadi jalan kaki lagi!

Palais de La Bahia
Ukiran pada fasad Palais de La Bahia

Begitu sampai di area luar istana yang dikelilingi tembok tebal dan tinggi, beberapa turis tampak kebingungan. Saya juga bingung karena pintu masuk tertutup. Ternyata istana sedang direstorasi. Istana berarsitektur khas Maroko itu dibangun tahun 1578 oleh Sultan Ahmad al-Mansur. Ciri khasnya dinding yang tinggi dan berwarna merah terakotta.

Melihat sejenak istana dari Dinasti Saadi ini, saya teringat Saadian Tombs. Dilihat dari peta digital, letaknya tak begitu jauh. Persisnya di Rue de La Kasbah. Rue dari bahasa Prancis berarti jalan. Untuk masuk ke Saadian Tombs harus melalui lorong kecil di samping Masjid Kasbah atau Moulay El yazid Mosque. Di ujung lorong ada loket penjualan tiket. Bayar 10 dirham, lalu nikmati keindahan bangunan makamnya.

Saadian Tombs ini komplek makam keluarga Sultan Ahmad Almansur. Namun Saadian Tombs menarik karena arsitekturnya yang khas Maroko. Dihiasi ubin dan marmer yang bermotif. Sangat indah. Ada taman di tengahnya. Hingga sore saya berada di Saadian Tombs. Kemudian bergegas kembali ke Jemaa El-fnaa karena keriuhan dimulai sore hari.

Masjid Kasbah
Saadian Tombs

Begitu tiba, semangat saya membara. Keriuhan pengunjung, penjual, beragam atraksi, dan kesenian khas Maroko, membuat ruang publik ini sangat hidup. Sangat kontras dengan suasananya ketika pagi hari yang sangat tenang. Pusat kota tua Marrakesh ini berubah wajah.

Bahkan hingga malam, keriuhan semakin menjadi-jadi. Tabuhan alat musik menggema. Saling bersahutan karena ada beberapa kelompok. Bertepatan dengan kunjungan saya, Marrakesh jadi tuan rumah konferensi internasional. Berbagai pentas terbuka digelar tiap malam di alun-alun itu. Benar-benar menggambarkan keberagaman dan keterbukaan Maroko. Budaya Afrika, Arab, dan Prancis bercampur menjadi satu.

Ketika menyaksikan pertunjukan atau atraksi ini, godaan untuk terus memotret sangat menggebu. Namun mesti hati-hati karena pengunjung tidak bisa sembarang memotret. Turis biasanya memilih duduk di atas cafe rooftop lalu memotret berbagai atraksi yang berlangsung di Jemaa El-fnaa. Dari rooftop itu, mereka bebas memotret.

Jemaa El-fna yang mulai riuh
Pertunjukan seperti ini tidak boleh dipotret sembarangan.

Selain atraksi dan pertunjukan kesenian, beragam makanan khas Maroko dijual di warung-warung tenda yang berjejer panjang. Ada Couscous (baca koskos), makanan paling populer di Maroko. Sekilas Couscous mirip nasi. Disajikan dengan daging dan sayuran yang direbus pada bagian atas.

Kemudian makanan populer lainnya, Tagine (baca Tajin) yang dimasak dengan hotpot tanah liat. Ada tiga pilihan, daging, ayam, atau sayuran. Saya memesan Tagine sayuran dan teh daun mint. Rasanya tidak terlalu istimewa. Tetapi teh daun mint yang saya nikmati rasanya benar-benar enak.

Setelah makan, saya memutuskan menyudahi petualang hari itu di Marrakech. Rasa penasaran pada Negeri Maghribi ini sedikit terobati. Jadi saya membantin ingin traveling di Marrakech lagi suatu saat nanti. Apalagi kita bebas visa masuk Maroko. ***

(1472)

20 Comments

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.