Eksotika Pantai dan Gurun Pasir Mui Ne

Mui Ne
White Sand Dunes

Merasakan eksotika dan sensasi gurun pasir tak hanya bisa ditemui di kawasan Timur Tengah atau Afrika. Di Asia Tenggara pun gurun pasir bisa ditemukan. Tepatnya di Mui Ne. Kota wisata di Phan Thiet, Vietnam Selatan. Dari Ho Chi Minh City perjalanan menuju ke bagian tenggara.

Saya berangkat dari Batam, Kepri, sendirian. Penerbangan dengan Tiger Air dari Bandara Changi Singapore, sekitar 2,5 jam. Sore menjelang senja saya tiba di Bandara Ho Chi Minh. Teman Couchsurfing dari Swiss yang tinggal di Ho Chi Min mengingatkan agar segera ke apartemennya. Sebab dia sudah memesan bus malam untuk kami berdua.

Waktu yang mepet memaksa saya menumpang taksi dari bandara. Meski tercatat sebagai taksi resmi. Tapi sopir taksinya meminta uang ketika baru saja meninggalkan bandara. Katanya uang servis. Saya merasa ditipu tapi sudah terlanjur. Sore-sore, jalanan sangat padat sehingga taksi yang saya tumpangi dari bandara ke apartemen teman sedikit tersendat.

Sopir taksi menurunkan saya tak jauh dari lorong menuju apartemen teman saya. Beberapa kali bertanya, saya akhirnya menemukan apartemen itu. Setelah mengobrol sebentar sembari menyiapkan barang bawaan, kami menuju kantor bus Sinh Tourist yang berada di Distrik 1. Perusahaan bus ini paling terpercaya di Vietnam sehingga banyak calon penumpang. Tarifnya 7-8 USD. Kalau mau cek jadwal dan harga tiket bisa cek di sini.

Open bus Sinh Tourist. (foto:periodistasviajeros.com)

Pukul 19.30 bus berangkat. Bus tersebut tipe sleeper bus jadi setiap penumpang mendapat tempat tidur. Perjalanan dari Ho Chi Minh ke Mui Ne terasa sangat lama. Sebab bus bergerak seperti liliput. Gregetan rasanya. Maklum sudah terbiasa dengan bus yang laju di Indonesia. Sekira pukul 02.10, bus sampai di Mui Ne.

Kami turun di depan Joe’s Cafe and Garden Resort Mui Ne. Resepsionis sudah tidak ada jam segitu. Untungnya teman sudah memesan sebelumnya sehingga kunci kamar dititipkan di satu tempat. Kamar chalet dengan dua tempat tidur itu sangat nyaman dan bersih. Saya langsung tertidur setelah berganti pakaian.

Keesokan harinya, saya terbangun agak telat. Saat bangun, jam sudah menunjukkan angka sepuluh. Saya langsung ke pinggiran resort yang berbatasan langsung dengan pantai. Mata langsung segar melihat pemandangan laut yang biru. Saya duduk di kursi malas sembari memesan sarapan. Oh ya, biaya menginap di resort itu 35 USD per malam. Tetapi karena berdua, kami sharing cost.

Hari pertama di Mui Ne itu, benar-benar untuk bersantai. Kami hanya duduk mengobrol, makan, dan menikmati pemandangan laut. Beberapa turis bermain paddleboar, flyboard, selacar angin dan jet ski. Sore hari, baru kami jalan-jalan menjelajahi Pantai Mui Ne yang sangat panjang. Di sepanjang pinggiran pantai itu berjejer hotel dan resort. Mulai kelas backpacker sampai kelas turis berkantong tebal.

Joe’s Cafe and Garden Resort
Malas-malasan sambil memandangi laut

Kami menyusuri pantai berpasir putih sampai matahari hampir tenggelam. Ternyata jauh juga kami berjalan. Saat kembali dan tiba di resort tempat kami menginap, hari sudah gelap. Bersama teman Couchsurfing lainnya kami mencari makan di warung tenda. Kami ingin mencicipi seafood sehingga mencari warung yang menyediakan seafood.

Warung tenda ini berjejer di sepanjang tepi laut. Menu utamanya memang seafood, tapi ada juga yang menawarkan menu-menu ekstrim. Salah satunya buaya panggang. Saat mencari warung seafood, kami melewati warung yang menjual buaya panggang. Buaya dipanggang seperti kambing guling panggang.

Kami memilih warung seafood yang agak jauh dari buaya panggang itu. Warungnya ramai dan bahan seafood yang segar-segar. Seafood di Mui Ne segar-segar karena memang kampung nelayan. Kami memesan beberapa jenis seafood. Selain ikan bakar, juga scallop yang rasanya nikmat. Usai makan malam, kami kembali lagi ke resort. Malam-malam di Mui Ne rasanya sangat tenang. Meski ada taksi, kami berjalan kaki sembari menikmati suasana malam.

Di Mui Ne, banyak juga tempat hiburan. Terutama bar dan club di tepi pantai. Tempat hiburan ini melengkapi pengalaman batin selama liburan di Mui Ne. Setelah siang-siang mengeksplore wisata bahari dan pantai Mui Ne, malamnya memanjakan diri di bar atau club.

Meski lebih dikenal dengan wisata baharinya, Mui Ne juga dikenal padang pasirnya. Saya penasaran dengan padang pasir ini karena adanya di Asia Tenggara. Sebab kalau menyebut padang pasir pasti kita langsung tertuju pada kawasan Timur Tengah atau Afrika. Sementara, ketika saya traveling ke negara-negara Arab seperti Oman dan Maroko, sedikit pun tak pernah mengekplorenya.

Mui Ne
Fairy Stream
Mui Ne
Tebing di Fairy Stream

Hari kedua barulah saya mengeksplor alam Mui Ne. Ada dua pilihan untuk menjelajahi Mui Ne. Pertama menyewa motor. Kedua ikut tur dengan mobil jip. Saya memilih ikut tur. Tarif perorang 7 USD. Satu jip memuat 4-5 orang. Saya bergabung dengan teman Couchsurfing dan dua backpacker lainnya.

Tujuan pertama, kami di bawa ke lembah yang dikenal dengan nama Fairy Stream atau Suoi Tien. Di website tripAdvisor, lembah ini menempati uturan pertama tempat yang harus dikunjungi. Setelah sampai di sana,
ternyata bagi saya orang Indonesia, biasa saja. Kami dibawa menyusuri sungai dangkal. Lebih tepatnya aliran air semata kaki yang berada di antara dua tebing yang berwarna merah tanah dan putih.

Jangan pakai sepatu saat ke sini karena harus jalan di sungai. Juga siapkan kantong untuk membawa sepatu atau sandal. Setengah perjalanan, kami singgah di Vita Garden Mini Zoo di tepian sungai itu. Pengelolanya mengajak singgah dan menawarkan tunggangan burung unta. Beberapa bule tertarik. Setelah beberapa menit menunggangi burung unta, mereka dimintai bayaran. Si bule pun kaget. Ia mengira tunggangan yang gratis. Wajahnya yang tadi ceria berubah masam. Ia merasa ditipu.

Si bule menunggangi burung unta

Setelah kejadian itu, kami langsung putar balik dan menuju jip yang menunggu. Kamai melanjutkan petualangan dan menuju perkampungan nelayan (Fishing Village). Dari pinggir jalan yang berada di ketinggian, perkampungan nelayan Mui Ne ini bisa dilihat. Pinggir pantai berderet-deret perahu nelayan. Di laut, jumlah perahu lebih banyak lagi. Diantara perahu itu, ada yang bentuknya unik. Bentuknya bundar seperti baskom. Perahu tradisional ini hanya digunakan nelayan untuk melaut tak jauh dari pantai.

Fishing Village

Hanya sebentar di Fishing Village, kami menuju padang pasir pertama. Lebih tepatnya gumuk pasir. Inilah White Sand Dunes dengan hamparan pasir putih yang membentang. Melihatnya, saya serasa berada di Timur Tengah. Padang pasir itu membentuk bukit-bukit dengan lekukan yang eksotis. Ada ATV yang disewakan di pintu masuk padang pasir ini, tapi kami memilih jalan kaki. Cuaca sangat panas, namun sensasinya lebih terasa. Seperti musafir yang sedang mengembara melintasi padang pasir.

Di tepian padang pasir itu ada danau kecil. Danau ini bagaikan oase. Saya tak sampai ke danau itu. Hanya mendekat sedikit lalu kembali karena cuaca yang sangat panas. Haus menggorogoti kerongkongan. Saya buru-buru kembali ke tempat parkir jip dan membeli minuman dingin di warung. Rasanya benar-benar menyegarkan.

White Sand Dunes
Danau di tepi White Sand Dunes

Dari White Sand Dunes, kami kembali menuju Mui Ne. Petualangan belum berakhir. Jip berhenti di pinggir jalan tepi pantai. Ternyata di sebelahnya padang pasir, Red Sand Dunes. Padang pasir ini sesuai namanya, berwarna merah. Apalagi kalau disinari matahari sore. Red Sand Dunes tak seluas White Sand Dunes tetapi lebih luas dari Gumuk pasir di Bintan, Kepri. Ramai penduduk lokal menawarkan berselancar dengan papan seluncur. Lebih ramai karena pinggir jalan dan dekat dengan pusat Mui Ne.

Pemandangan di Red Sand Dunes tak seindah White Sand Dunes. Tetapi memiliki kelebihan lain. Di seberangnya laut. Sehingga bisa menyaksikan cakrawala dan sunset. Namun saya tak mendapatkan keindahan itu sebab langit tak cerah. Kami berada di Red Sand Dunes sampai malam datang menjemput dan kembali ke resort. Saya menikmati Mui Ne sampai tengah malam saja karena harus kembali ke Ho Chi Minh. Selanjutnya menamatkan liburan dan pulang ke Batam.

Red Sand Dunes
Senja di Red Sand Dunes

(1991)

28 Comments

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.