Cerita Tiga Hari di Paris

Paris, Prancis, tujuan terakhir perjalanan saya di Eropa selama sebulan. Saya menuju Paris dari Suttgart, Jerman, sekitar pukul 21.15 waktu Jerman. Dalam bus Eurolines yang saya tumpangi ada rombongan mahasiswa asal Indonesia sehingga saya merasa tak sendiri. Perjalanan ditempuh hampir 10 jam. Lebih cepat satu jam dari jadwal sehingga bus tiba sekitar pukul 06.00 waktu Paris. Saat tiba suasana masih gelap karena malam lebih panjang di Eropa saat itu. Saya terpaksa menunggu di ruang tunggu Eurolines bus sekalian menghindari suhu yang sangat dingin di luar.

Selama dua jam saya menunggu hingga matahari muncul dan benar-benar terang. Berbekal alamat dan petunjuk yang diberikan teman yang akan saya tumpangi apartemennya, saya menuju pusat kota dengan kereta bawah tanah Paris, Metro. Jalur Metro di Paris termasuk paling rumit dibanding di kota lainnya di Eropa. Tetapi paling lengkap dan komprehensif. Cukup mudah mengikuti jalur-jalurnya dengan membaca petunjuk yang ada di tiap stasiun. Tarif sekali jalan juga paling murah dibanding tarif Metro yang pernah saya tumpangi di Amsterdam dan Berlin. Di Paris, tiket yang saya beli di mesin penjualan tiket hanya 1,70 euro, sementara di Berlin 2,60 euro.

Tanpa kesulitan saya menemukan apartemen teman saya yang letaknya tak jauh dari tempat hiburan dan kabaret terkenal di dunia Moulin Rouge. Setiba di apartemen, teman saya menawarkan teh hangat dan roti untuk sarapan. Kami sarapan sambil ngobrol tentang perjalanan saya dan studio dance yang ia kelola. Karena mengantuk setelah perjalanan dengan bus dari Stuttgart, saya meminta ijin tidur hingga tengah hari. Setelah bangun tidur saya berkemas dan keluar untuk makan siang dan mulai menjelajahi Paris. Saya pergi sendiri dengan membawa peta Paris dan jalur moda transportasi di Paris. Tujuan pertama saya apalagi kalau bukan Menara Eiffel.

Paris
Menara Eiffel
Turis di Taman Menara Eiffel.

Saat turun di stasiun dekat Menara Eiffel, pertama kalinya selama perjalanan dengan metro atau tram di Eropa saya dan penumpang lainnya mendapatkan pemeriksaan tiket. Dari metro itu sudah tampak Menara Eiffel. Saya sempat kecewa sebab melihatnya tak sejangkung yang saya lihat di gambar. Ramai orang yang berjalan ke arah lokasi Menara Eiffel dan saya pun mengikuti arus orang-orang itu. Sesampai di kaki Menara Eiffel, suasana riuh dengan ramainya pengunjung. Antrian pengunjung ke puncak atau bagian tengah menara itu mengular. Saya meninggalkan keriuhan di bawah kaki Menara Eiffel dan melangkah menuju taman. Dari sini barulah Menara Eiffel terlihat jangkung seperti yang saya lihat di gambar atau video. Saya menikmati suasana di taman Menara Eiffel. Saya menunggu hingga malam untuk melihat cahaya dan kerlap-kerlip lampu Menara Eiffel yang berlangsung setiap jam.

Saya meninggalkan taman dan menuju Palais de Chaillat yang berada di seberang Menara Eiffel. Untuk ke sana harus menyeberang jembatan yang mengangkangi Sungai Seine. Di sini, turis juga ramai. Bahkan rombongan pengantin yang mengambil foto dengan latar Menara Eiffel. Dari istana ini, Menara Eiffel tampak semakin cantik menjelang malam. Saya menghabiskan waktu di tempat ini dan berinteraksi dengan komunitas muslim Paris yang sedang kampanye sosok Hussain sebagai pejuang keadilan dan perdamaian seperti Gandhi. Saya ikut bersama mereka menyalakan lilin.

Palais de Chaillat

Saya tidak lama bersama menyalakan lilin dan melanjutkan langkah menuju Arc de Triamphe. Monumen kemenangan Perancis yang berada di tengah jalan. Saya berjalan sendiri sekira 20 menit hingga sampai di Arc de Triamphe. Monumen ini sangat terkenal dan tak jauh dari kasawan pusat perbelanjaan mewah Champs Elysees. Avenue Champ Elysees berujung di Arch de Triamphe. Di bawah tanah ada lorong untuk naik ke kaki Arch de Triamphe dan pengunjung harus membayar. Saya tidak lama di kaki monumen itu dan mmeutuskan untuk pulang ke apartemen teman saya dengan menumpang metro.

Hari berikutnya, giliran Musee de Louvre tujuan saya. Museum ini terkenal dengan piramida kaca di depannya. Salah satu museum terbesar, museum seni yang paling banyak dikunjungi dan sebuah monumen bersejarah di dunia. Sebelum ke tempat ini saya lebih dulu ke Notre-Dame de Paris. Saya sempat luput karena mengira bangunan yang saya lihat pertama begitu berada di dekat pulau kecil di tengah Sungai Seine itu adalah Notre-Dame de Paris. Saat saya sedang berdiri di jembatan memandangi bangunan itu, tiba-tiba ada orang Indonesia yang berteriak.”Itu Notre-Dame di sana,” kata wanita itu sambil menunjuk ke arah puncak katedral yang tampak menyembul di antara bangunan lainnya.

Jembatan di Sungai Seine.
Notre-Dame du Paris

Bergegas saya balik arah dan melangkahkan kaki ke arah Notre-Dame. Tadinya saya sudah mau meninggalkan tempat itu setelah mendatangi Palais of Justice. Tetapi berkat wanita tadi, saya menemukan Notre-Dame yang sesungguhnya. Ramai turis di depan Notre-Dame. Begitu juga antrian turis yang hendak masuk ke dalam. Saya mau berfoto tetapi sulit mendapatkan orang yang diminta bantuan. Semuanya sibuk berfoto. Saya juga takut sembarang meminta tolong karena teringat cerita turis-turis yang dibawa kabur kameranya. Saya mencari orang berwajah Asia dan menemukan turis dari China. Saya pun akhirnya bisa berfoto dengan latar Notre-Dame.

Dari Notre-Dam, saya berjalan kaki ke Musee du Louvre karena jaraknya tidak jauh. Masih di tepian sungai Seine. Apalagi pemandangan sepanjang sungai Seine menarik dan area pejalan kaki sangat nyaman. Sebelum belok masuk ke area museum dan istana, saya singgah di jembatan yang dijejali gembok cinta. Sisi kiri-kanan jembatan itu sudah dijejali gembok bahkan bertumpuk-tumpuk. Tampak seorang wanita nekat memanjat tembok pembatas jembatan dan memasang gemboknya di tiang lampu. Di tempat itu pula, pasangan pengantin sedang mengambil foto. Saya tersenyum melihat tingkah orang-orang yang berkunjung di jembatan ini.

Gembok cinta

Langit semakin kelabu dan saya pun segera beralih ke tujuan utama saya, Musee du Louvre. Piramida kaca di depan museum itu menyambut. Bangunan museum yang sangat besar dan indah menarik mata. Saya tidak masuk museum karena tutup pukul 18.00, sementara saya tiba sekitar pukul 17.00, jadi saya hanya melihat-lihat dari luar dan mengintip sebagian isi museum dari jendela kaca. Dari museum saya meneruskan langkah ke taman yang indah, Jardin de Tuileries.

Tak salah jika Paris disebut kota yang romantis karena banyak taman-taman yang luas dan indah. Banyak orang menikmati taman dengan duduk-duduk, apalagi ada kursi disediakan. Ada yang mengelilingi air mancur. Dari taman ini, Menara Eiffel tampak menyembul. Rona senja membuat suasana romantis dan indah. Saya sejenak menikmati suasana di taman sambil merenggangkan kaki yang mulai pegal. Meski mulai malam, orang-orang tidak beranjak pergi. Saya kemudian meneruskan langkah ke ujung taman, menyeberang jalan dan sampai di Champs Elysees lagi. Tampak di kejauhan Arch de Triamphe.

Paris
Musee du Louvre
Menara piramida di Musee du Louvre.

Melihat itu, saya memutuskan pulang karena teman saya menunggu untuk makan malam di apartemennya. Kami janjian untuk memasak bersama. Pukul 20.00 saya tiba di apartemen dan rehat sejenak sebelum memasak. Sementara teman saya menyiapkan bahan masakan. Kami memasak ikan dan sayur-sayuran, juga nasi. Untuk minumannya, saya membuat teh hijau, sementara teman saya menyiapkan wine dan keju. Teman saya paham bahwa saya tidak minum-minuman beralkohol jadi tidak pernah menawarkan wine kepada saya. Wine dan keju wajib sebagai pencuci mulut usai makan di Prancis.

Hari ketiga atau hari tekahir saya di Paris, teman saya mengajak ke studio dance yang ia kelola. Di studio itu saya bertemu sejumlah stafnya yang sudah datang lebih awal. Mereka menyambut ramah. Saya di studio ini sampai tengah hari lalu pergi ke Belleville, distrik yang banyak dihuni orang-orang dari kawasan Asia dan negara-negara Muslim seperti Turki dan Tunisia. Banyak toko atau restauran bernuansa Asia, terutama restauran China, Jepang, dan India. Di sini makanan halal sangat mudah ditemukan jadi saya makan siang di salah satu restauran India-Turki.

Paris
Belleville

Uusai makan, saya menyusuri Rue de Belleville. Di Prancis, Rue berarti jalan. Langkah saya berujung di taman. Ya lagi-lagi taman yang luas dan indah. Parc des Buttes Chaumont. Taman ini berbukit sehingga bisa menyaksikan sebagian wajah kota Paris dari atas. Menjelang malam saya kembali ke apartemen teman saya karena pukul 23.30 bus yang saya tumpangi berangkat menuju Amsterdam. Saya harus kembali ke Amsterdam karena saya membeli tiket pergi-pulang melalui Bandara Schipol Amsterdam. Perjalanan saya di Eropan pun berakhir dengan banyak kenangan dan pengalaman yang berkesan.**

Paris
Tepian Sungai Seine di dekat Menara Eiffel.
Moulin Rouge

(5973)

34 Comments

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.