Solo Traveling di Iran (part-2): Iranian, Orang Paling Ramah di Dunia

Gereja di pusat Kota Teheran

Traveling di Iran membuka mata saya. Keramahtamahan yang saya temukan di hari pertama menjejakkan kaki di tanah bangsa Arya itu benar-benar mengesankan. Bahkan banyak kejutan-kejutan pada hari-hari berikutnya. Ketika hendak jalan-jalan dan saya belum menukarkan uang dolar dengan uang Rial, teman saya, Reza memberikan uang 120 rial untuk ongkos taksi dan metro. Di jalan, orang-orang yang berpapasan seringkali menatap dan tersenyum ramah. Ada juga yang menyapa.

Di metro (kereta bawa tanah), orang-orang menyapa saya dan menanyakan asal saya. “Kamu dari Peru?” tanya seorang pria di hadapan saya sambil tersenyum. “Bukan” jawab saya. “Dari Philipina?”Bukan, saya dari Indonesia,” kata saya.

Ketika tahu saya dari Indonesia, mereka tampak senang. Tetapi ada juga yang tak percaya saya orang Indonesia. Saat jalan kaki, seorang pria tua menyapa dan mengira saya dari Afganistan. “Bukan. Saya dari Indonesia,” jawab saya. Tetapi dia tetap tak percaya dan ngotot dengan dugaannya.”Tidak. Kamu dari Afganistan,” katanya disertai senyum. Saya pun ngotot dan akhirnya dia menyerah.

Traveling di Iran
Alun-alun Sang Cermin Dunia di Isfahan

Sore-sore, saya kembali ke apartemen dan yang membukakan pintu si pemilik apartemen. Karena teman saya belum pulang bekerja, ia mengundang ke rumahnya untuk menikmati teh hangat. Namanya Ahmad. Ia punya dua anak yang sedang giat-giatnya belajar bahasa Inggris. Saya tak bisa memenuhi undangannya karena capek. Sekitar dua jam kemudian ia menelpon dan mengundang lagi untuk datang ke rumahnya yang berada di lantai satu. Tetapi lagi-lagi saya tak memenuhi undangannya. Saya pun berjanji akan memenuhi undangannya kalau kembali lagi ke Tehran. Malam itu, Reza yang pulang agak malam memesan makanan yang porsinya sangat besar untuk menjamu saya dan temannya.

Setelah tiga hari di Tehran, saya ke Isfahan. Kota Budaya Iran. Reza menanyakan apakah saya sudah menukar duit. Saya pun memperlihatkan uang yang diberikan sehari sebelumnya. “Itu tidak cukup,” katanya. Saat melewati ATM, ia singgah dan mengambil duit. “Ini untuk beli tiket dan ongkos taksi kamu nanti,” katanya sembari menyerahkan uang 600 ribu Rial. “Okay, saya akan berikan uang dolar,” kata saya dan Reza menolaknya.

Traveling di Iran
Pool 33 Pool Bridge Isfahan

Keramahtamahan dan kebaikan orang-orang Iran itu terus menghampiri saya. Kerahamahtamahan yang sesungguhnya dan tulus. Tak hanya orang-orang dewasa, keramahtamahan itu juga ditunjukkan anak-anak muda dan remaja. Saat mengunjungi 33 Pool Bridge di Isfahan, sekelompok anak muda menyapa dan mengajak mengobrol meski hanya tahu satu-dua kata bahasa Inggris. Mereka banyak bercanda dan meminta swafoto bersama (wefie). Saya sempat ragu dan takut kalau-kalau nanti mereka meminta uang. Ternyata dugaan saya salah, mereka tak meminta uang. Ketika hendak pergi lagi mereka mengajak saya bergabung untuk jalan-jalan. Tapi saya tolak.

Di lain hari, saya masuk ke Kentucky House yang dipadati orang lokal. Hanya saya orang asing. Saya tidak mendapatkan tempat duduk di Kentucky House untuk makan siang, dan seorang remaja akhirnya membagikan tempat duduknya. Tubuhnya agak bongsor. Awalnya, saya sempat kaget melihat pesanan makanannya yang jumbo. Satu loyang pizza, salad satu mangkok besar, dan satu piring kentang goreng. Sementara saya memesan burger ukuran besar dan minuman ringan saja.

Tak saya sangka, ketika seorang perempuan ingin merasakan nikmatnya pizza itu dan memintah secuil, remaja itu malah memberikan satu potong. Tak hanya sekali, seseorang mendatanginya. Seorang anak kecil datang menawarkan tissu, ia langsung membelinya dan memberikan uang yang lebih. Bahkan ia menawarkan pizza dan anak perempuan itu pun tersenyum senang. Tak lama setelah anak perempuan itu pergi, muncul anak kecil lainnya menawarkan jualan yang sama. Ia pun membelinya dan lagi-lagi memberikan uang lebih. Saat anak laki-laki itu hendak pergi, ia membekalinya dengan sepotong pizza dan salad yang belum disentuhnya. Ia memberikannya dengan tulus, seperti seorang kakak kepada adiknya.

Traveling di Iran
Orang Iran ini memotret saya dan mengajak berfoto bersama teman-temannya.

“Kamu bisa bahasa Inggris,” tanya saya setelah mengakhiri pengamatan. Ia menjawab bisa dan perbincangan kami pun dibuka. Namanya Akbar. Mengetahui saya dari Indonesia, ia menawarkan untuk menemani dan mengantarkan saya ke tempat-tempat menarik di Isfahan. Ia menelpon orang tuanya dan menyampaikan baru akan pulang ke rumah pukul 21:00. Alasannya, ia akan menemani saya jalan-jalan. Jadilah ia pemandu wisata dadakan buat saya. “Saya baru pulang sekolah dan bebas sampai jam 9 malam,” katanya.

Meski masih kelas dua SMA, ia paham sejarah bangsanya. Setiap tempat yang kami datangi, ia mampu menjelaskannya. Ia mengantar ke objek-objek wisata sejarah dan menceritakan tempat itu. “Oh ada yang juga kamu harus coba. Es krim khas Isfahan,” katanya.

Ia menawarkan es krim padahal cuaca sangat dingin buat saya. Tetapi karena ingin mencoba, akhirnya saya setuju. Ia pun beranjak membelikan es krim. Hanya satu, untuk saya saja. Rasanya segar. Saat saya menikmati es krim itu, ia pergi lagi ke toko dan kembali membawa dua kantong yang berisi, ghaz, camilan khas Iran. “Ini khas Iran. Oleh-oleh untuk kamu,” ujarnya.

Kejutan itu membalikkan persepsi saya dan tak berhenti di situ saja. Menjelang magrib, ia mengajak saya ke masjid. Saya agak takut karena ia penganut Syiah. Tapi ia meyakinkan saya, tidak akan ada sesuatu yang buruk akan terjadi. “Kamu bisa salat sendiri nanti,” ucapnya saat kami berjalan kaki menuju masjid.

Benar saja, tidak ada yang terheran-heran atau mengamati saat saya salat sendiri dengan cara saya di bagian luar masjid. Ruang yang menyerupai teras itu memang diperuntukkan bagi jamaah bila di dalam tidak cukup atau tidak ingin berjamaah. “Di sini (Iran) tidak ada masalah bagi yang Sunni,” ungkapnya.

Salat di bagian luar masjid
Salat di bagian luar masjid. Di sinilah saya juga melakukan salat Magrib

Usai salat magrib, saya memutuskan untuk pulang. Ia mengantarkan saya dengan taksi ke terminal bus kota. Ia membayar ongkos taksi itu bahkan membayarkan ongkos bus untuk saya. Saya pulang ke rumah teman. Sam Mayhari, seorang pengajar bahasa Inggris dan single parent. Di apartemennya yang sederhana, ia menyiapkan makan malam yang dibuat ibunya. “Anggap saja kamu di rumah sendiri, kamu bisa leluasa di rumah ini. Tidak usah segan,” katanya.

Anaknya yang baru kelas 3 SMP dan sedikit bisa berbahasa Inggris tak kalah ramahnya. Saya sering berbincang dengannya. Keesokan harinya, Sam mengajak saya ke desanya yang berjarak sekira 25 kilometer dari Isfahan. Hari itu, penduduk desa berkumpul untuk menyaksikan pergelaran Tazieh, teater kuno yang sudah berusia ribuan tahun. Meski tak jauh, desa itu benar-benar kontras dengan Isfahan. Seperti tak ada sentuhan modern. ย Rumah-rumah lumpur yang bersahaja dan penduduknya ramah. Tetapi setelah masuk ke dalamnya, rumah-rumah itu modern.

Setiba di desa itu, orang-orang menyapa saya. Pandangan mata mengarah ke saya dan anak-anak mengikuti ke mana pun saya pergi. Sesekali ada yang mengajak berbincang meski hanya bisa bahasa Farsi. Sam mengajak saya bertemu dan berkenalan dengan para pemain teater. Ternyata semuanya masih ada hubungan keluarga. Mereka adalah paman dan sepupu Sam. Jadi ketika mereka sedang memainkan teater rakyat (sejenis Makyong di Batam) mereka menyampaikan ada tamu dari Indonesia.

“Mereka menyampaikan sambutan dan mengumumkan kehadiran kamu,” kata Sam menerjemahkan.

Sam bersama sepupu dan pamannya, pemain teater tradisional di Isfahan.
Sam bersama sepupu dan pamannya, pemain teater tradisional di Isfahan.
Traveling di Iran
Makan siang bersama usai pementasan teater rakyat
Traveling di Iran
Anak-anak di salah satu desa yang mengikuti saya

Menjelang pementasan di lapangan terbuka selesai, anak-anak ramai mendekati saya. Mereka ingin berfoto bersama meski malu-malu. Ketika pementasan benar-benar selesai, sekeliling saya sesak. Mereka mengerumuni dan terus minta berfoto bersama. Saya tak bisa keluar dari kerumunan itu. Sam terpaksa menghalau mereka. Meski dihalau, mereka terus mengikuti hingga saya naik ke mobil.

Dalam perjalanan, seorang pria mengundang makan siang. Usai pementasan perayaan Muharram itu, memang mereka punya kebiasaan makan bersama. Anak-anak juga ikut bergabung. Nasi kebab dihidangan dan disantap dengan duduk bersila. Anak-anak yang duduk di dekat saya terus mengajak berbincang dan meminta bertukar uang untuk kenang-kenangan. Desa berpenduduk ramah itu akhirnya kami tinggalkan saat sore sudah mengambang. Ibu Sam yang sempat kami temui memberi saya sekantong apel hijau.

Apel itu saya simpan untuk bekal dalam perjalanan ke kota berikutnya, Shiraz. Sam yang mengetahui saya tak membawa jaket yang cukup tebal untuk menghangatkan tubuh, memberikan jaket wol. Ia juga memberikan uang untuk ongkos bus ke terminal. “Kalau kamu kehabisan uang, hubungi saya. Saya akan kirimkan lewat akun bank teman di mana kamu berada,” kata Sam sebelum saya berangkat melanjutkan perjalanan.

Pasar Afganistan
Pasar Afganistan

Di bus, dalam perjalanan ke Shiraz, orang-orang tersenyum menyapa. Mereka menawarkan cemilan, bahkan makan siang. Sesampai di Shiraz, seorang pemuda lainnya mengantarkan saya dengan taksi ke rumah teman saya. Padahal, tujuan kami tidak searah. Ia yang membayar ongkos taksi itu. Lalu mencari apartemen teman saya hingga ketemu. Setelah memastikan saya sudah ‘selamat’, ia pun pergi. “Terima kasih. Senang bertemu denganmu,” kata saya.

Orang-orang yang menyapa dan mengajak berbincang, terus menerus saya jumpai. Seorang pemilik toko, begitu senangnya ketika mengetahui saya orang Islam Sunni. Ada rasa haru dan gembira di wajahnya. Pria bernama Ally ini tak bisa bahasa Inggris. Tapi komunikasi kami terhubung. Ayahnya yang bisa bahasa Inggris sedikit-sedikit tak kalah senangnya berjumpa dengan saya. Ia mengundang ke rumahnya yang tak jauh dari tokonya. Meski Ally dan ayahnya minoritas, mereka bisa hidup dengan tenang diantara penduduk Iran yang mayoritas Syiah. Mereka bebas berusaha di dekat masjid Syiah dan kepungan toko-toko dan rumah milik orang Syiah.

Tak hanya Sunni, penganut agama Kristen juga bebas berekspresi. Saat saya berdiri di depan toko Ally, melintas seorang pemuda dengan rosario tergantung di lehernya. Bahkan sebelumnya, saya menjumpai gereja yang berdiri di megah di jalan utama Tehran. Gereja itu berdiri dengan latar belakang gedung dengan gambar Imam Khomeini. Sam, teman saya di Isfahan juga mengenakan rosario, meski keluarga besarnya beragama Islam.

Di Iran, masyarakatnya hidup berdampingan dengan rukun dan tidak suka bertindak radikal. Kebanyakan penduduk Iran adalah muslim, 90 persen Syiah, 8 persen Sunnah Wal Jamaah, dan 2 persen lagi adalah penganut agama Baha’i, Mandea, Hindu, Zoroastrianisme, Yahudi, dan Kristen. Zoroastrianisme, agama nenek moyang bangsa Persia, dan Yahudi diakui oleh pemerintah Iran, dan turut mempunyai perwakilan di parlemen.

“Kami tidak suka bertindak yang radikal. Kami suka perdamaian. Jadi gambaran masyarakat Iran berbeda dengan gambaran pemerintah,” ungkap Reza.

Traveling di Iran
Gereja di pusat Kota Teheran

Seorang guru bahasa Inggris yang saya temui di taksi juga mengatakan demikian. Pria paruh baya bernama Muksin Jamil itu mengatakan orang Iran tidak seperti yang dicitrakan orang-orang luar. Menurutnya orang-orang Iran sangat bersahabat, suka kedamaian, jadi Iran sangat aman. Bahkan bagi orang asing yang traveling di Iran.

“Saya mohon kepadamu, tolong kabarkan kepada orang-orang bahwa Iran itu aman. Wajah pemerintah Iran bukanlah wajah masyarakat Iran,” katanya memohon dan diujung percakapan ia membayarkan ongkos taksi saya.

Rasa aman dan nyaman itu ada benarnya. Selama perjalanan dari Tehran, Isfahan, Shiraz, Yazd, dan kembali lagi ke Tehran, saya seperti berada di negeri sendiri. Saat jalan-jalan di hari terakhir di Tehran, seorang pria menyapa saya, “Oh friend from Indonezy!” Saya kaget karena tiba-tiba ada yang tahu saya dari Indonesia. Di tengah kebingungan saya, ia pun menjawab rasa bingung itu, “Saya tetangga temanmu,” katanya sembari tertawa.

Ternyata Ahmad, pemilik apartemen yang pernah mengundang saya ke rumahnya. Lagi-lagi, ia mengundang saya dan menyanggupinya. Saya berjanji akan datang pukul 19:00. Ketika saya datang, istrinya sudah menyiapkan buah-buahan dan teh hangat. Anak-anaknya ikut berbincang-bincang. Mereka banyak bercanda dan tertawa. Setelah setengah jam mengobrol, ia mengajak makan malam. Tetapi saya sudah kekenyangan makan buah dan beralasan akan malam bersama teman saya. Akhirnya ia memberi oleh-oleh buah untuk bekal saya.

Keramahtamahan, sikap bersahabat dan sikap toleran orang Iran ini diakui Duta Besar Indonesia untuk Iran, Dian Wirengjurit. Ia melihat keramahtamahan yang tulus itu ketika berkunjung ke desa-desa di beberapa wilayah di Iran. Dubes yang sudah tiga tahun bertugas di Iran ini mengabadikan wajah-wajah ramah itu dalam buku fotografi karyanya yang berjudul Iran Lovely People. Hasil survei Photographer Koach, seorang Korespondensi dari Jepang yang melakukan perjalanan wisata lebih dari 40 Negara Paling Favorit juga membuktikan itu. Jadi tak perlu takut traveling di Iran!

(3878)

63 Comments

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.