Homestay di Turki (part-2): Terkenang Keramahan dan Indahnya Masjid Biru

Istanbul Turki

Masyarakat Istanbul, Turki punya kebiasaan nge-teh bareng sambil ngobrol dengan suara keras. Mereka juga suka memancing sore-sore meskipun suhu agak dingin seperti di Istanbul. Mereka ramah dan senang menolong, apalagi kalau tahu dari Indonesia.


 

Usai makan malam, Anne dan menantunya, Fatma, membawa piring kotor dan sisa makanan ke dapur. Membersihkan meja kecil, melipat kakinya, dan menyimpannya di pojok ruang keluarga. Setelah makan malam, Sadullah yang baru saja pulang kerja, muncul. Ia juga sangat ramah. Meski juga tak bisa berbahasa Inggris.

Tak lama berbincang, azan magrib terdengar dari masjid yang tak jauh dari rumah. Kami bersama-sama salat magrib di rumah sekitar pukul 17.15 waktu Turki. Di luar sudah mulai gelap. Meski salat di rumah, kaos kaki tetap dipakai. Ini pertama kalinya saya salat mengenakan kaos kaki. Usai salat magrib, langsung dilanjutkan dengan salat sunnah tanpa membubarkan saf atau bergeser tempat.

Ketika waktunya salah Isya, kami ke Fatih Camii. Di Turki, masjid disebut Camii (baca jami). Keponakan Beytullah, Berat Temur juga ikut bersama kami. Menyusul Seldar Temur, ayah Berat. Di masjid, kebanyakan orang-orang tua yang datang salat berjamaah, meski tak sedikit yang muda-muda. Tak ada yang mengenakan sarung. Semua mengenakan celana, jas atau jaket, serta kaos kaki. Sepatu dicopot dan diletakkan di kotak penyimpanan.

Istanbul Turki
Masjid Biru
Usai salat Magrib
Usai salat Magrib

Di dalam masjid udara terasa hangat. Interiornya begitu indah dengan kaligrafi dan keramik yang menghiasinya. Sambil menunggu waktu azan, semuanya duduk dengan kaki terlipat menyanggah badan. Imam menyusul. Imam mudah dikenali karena satu-satunya yang mengenakan jubah.

Azan dikumandangkan di ruang khusus sehingga tidak tampak yang melantunkan azan. Sebelumnya, kala pendiri Republik Turki Mustafa Kemal Ataturk memerintah, azan diganti dengan bahasa Turki. Tapi kini azan sudah kembali ke aslinya.

Begitu azan selesai, semua berdiri dalam satu saf dan salat sunnah. Dilanjutkan dengan salat Isya dan disambung lagi dengan salat sunnah. Lantas ditutup dengan salat witir. Beytullah mengatakan setiap salat, mereka selalu melakukan salat sunnah. Baik di masjid maupun di rumah.

Tidak ada yang terburu-buru meninggalkan masjid. Mereka pun selalu mengupayakan salat di masjid. Sejak pertama kali menjejakkan kaki di masjid hingga selesai salat, tidak tampak oleh saya wanita ikut salat berjamaah. Rupanya mereka punya tempat khusus yang terpisah dari laki-laki dan tertutup.

Islam adalah agama terbesar di Turki. Sejak zaman Kesultanan Utsmaniyah menguasai Turki pada tahun 1400-an pemeluk Islam di Turki semakin banyak. Kini sekitar 99,8 persen penduduk Turki adalah Muslim. Kebanyakan Muslim di Turki adalah Sunni dengan 70-80 persen, sisanya adalah Alevis dan Syiah dengan 20-30 persen. Ada juga pengikut Dua Belas Imam sebanyak tiga persen.

Fatih Mosque
Sultan Ahmet Mosque

 

Interior Fatih Mosque
Interior Sultan Ahmet Mosque

Pada hari-hari berikutnya, kami sering salat di masjid. Di mana pun berada karena sangat mudah menemukan masjid. Semua masjid di Turki modelnya hampir sama. Puncaknya berkubah besar dan kubah-kubah kecil atau setengah lingkaran memeluk kubah besar. Menara menjulang tinggi seperti pensil dengan bentuk runcing di puncaknya.

Di dalamnya kaligrafi dan keramik berornamen menghiasi seluruh bagian masjid. Termasuk langit-langit masjid. Seluruh masjid dilengkapi tempat penyimpanan sepatu di bagian luar atau di dalam masjid. Beberapa masjid dilengkapi penghangat dan air hanya untuk wudhu pada musim dingin. Tetapi menggunakan toilet di masjid atau di tempat lain harus bayar 1 Lira atau 50 Kurus (setengah Lira).

Beberapa masjid di Istanbul menjadi tujuan wisata. Di antaranya Yeni Camii, Suleymaniye Camii, dan paling terkenal Sultanahmet Cammi atau lebih dikenal dengan nama Blue Mosque (Masjid Biru). Tiga masjid ini berada di Istanbul sisi Eropa dan letaknya tidak terlalu berjauhan.

Masjid-masjid ini berusia ratusan tahun. Yeni Camii atau New Mosque (Yeni dalam bahasa Turki berarti baru) bukanlan masjid baru seperti namanya. Pembuatan masjid dimulai pada tahun 1597 M dan memakan waktu 66 tahun untuk penyelesaiannya. Kemudian Suleymaniye Camii dibangun pada tahun 1550 M. Belakangan Sultanahmet Cammi dibangun antara tahun 1609-1616 M.

Istanbul Turki
Blue Mosque / Masjid Biru / Sultan Ahmet Camii

 

Langit-langit masjid dengan ornamen yang rumit dan indah
Langit-langit masjid dengan ornamen yang rumit dan indah

Di masjid-masjid bersejarah ini, selain ramai orang yang salat, juga ramai oleh turis mancanegara. Saya bersama Beytullah beberapa kali salat di Sultanahmet Camii dan Yeni Camii. Sebelum masuk, pengunjung atau orang yang hendak salat melepas sepatu dan disediakan kantong plastik untuk menyimpan sepatu.

Di bagian belakang ada bagian khusus bagi turis non muslim sehingga tidak boleh masuk lebih dalam. Saya dan turis lainnya terkagum-kagum dengan arsitektur dan dekorasi masjid yang tetap dipertahankan meski sudah ratusan tahun.

Selain rajin ke masjid, tuan rumah dan anak-anaknya juga rajin puasa sunnah. Beberapa kali saya makan siang tanpa mereka karena puasa. Semua wanita dalam keluarga besar itu mengenakan hijab. Di Turki, banyak wanita yang mengenakan hijab. Di sisi lain, tidak pernah saya menemukan perempuan berpakaian seksi.

Menurut Beytullah, bahkan ketika musim panas pun, perempuan di Turki tidak suka mengenakan pakaian yang mengumbar aurat. Tetapi di televisi, sejumlah tayangan hiburan, terutama musik, beberapa penyanyi wanita berpakaian dengan belahan dada rendah.

Sementara di jalan-jalan sangat mudah menemukan wanita yang berhijab. Tetapi model hijabnya tidak seperti di Indonesia yang beragam dan fashionable. Mereka sepertinya hanya punya satu model standar. Wanita-wanita Turki semakin banyak yang mengenakan hijab setelah Perdana Menteri Turki, Recep Tayyip Erdogan mencabut larangan penggunaan kerudung oleh para pegawai di sektor publik, Oktober 2013. Kerudung yang semula dilarang dipakai oleh para pegawai di sektor publik sekarang dibebaskan. Kini Erdogan jadi Presiden.

Istanbul Turki
Istanbul sisi Eropa

Pencabutan peraturan itu secara resmi dilakukan oleh pemerintah Ankara hanya satu pekan setelah Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan berjanji akan melakukan perubahan yang lebih demokratis. Namun perubahan peraturan itu, terutama terkait hijab, mendapatkan kecaman dari partai oposisi yang mempertahankan nilai-nilai sekuler negara Turki yang dicanangkan presiden Turki pertama Mustafa Kemal Ataturk.

Turki memang negara sekuler. Negara sekuler didefinisikan melindungi kebebasan beragama. Negara sekuler juga dideskripsikan sebagai negara yang mencegah agama ikut campur dalam masalah pemerintahan, dan mencegah agama menguasai pemerintahan atau kekuatan politik.

Di luar itu, masyarakat Turki punya kebiasaan ngopi atau nge-teh. Di keluarga, tempat saya tinggal, mereka sering berkumpul untuk minum teh bersama. Biasanya dilakukan saat semua keluarga sudah berkumpul pada malam hari hingga dini hari. Terkadang di rumah Hasan, kadang giliran di rumah anak-anaknya.

Sarapan sambil nge-teh
Sarapan sambil nge-teh

Tata cara minum teh di Turki agak unik. Teh ditaruh dalam teko bertingkat. Bagian atas teh kental dan teko bagian bawah berisi air panas. Teh kental tadi kemudian dituangkan ke dalam gelas mungil. Teh kental itu hanya mengisi seperempat bagian dari gelas. Setelah itu, gelas diisi penuh dengan air panas. Setiap melihat gelas sudah kosong, Fatma, istri Sadullah, menuangkan teh ke dalam gelas.

“Orang Turki suka minum teh yang manis. Tapi saya suka tanpa gula, saudara saya (Serdal) juga suka,” ungkap Beytullah yang suka musik dan film Indonesia.

Sambil minum teh, mereka mengobrol. Orang Turki dalam berkomunikasi atau ngobrol satu sama lain dengan nada tinggi seperti orang yang sedang bertengkar. Saya sempat kaget. Tapi ternyata itu hanya obrolan biasa yang topiknya cukup hangat. Jadi nada tinggi mereka bukan bertengkar, tapi hanya sekadar diskusi atau berkomentar. Meski pun itu mengobrol dengan orang tua.

“Memang kami terbiasa mengobrol dengan suara keras, tapi itu bukan marah. Bukan bertengkar,” kata Beytullah lagi ketika saya bertanya.

Orang Turki begitu hangat dan suka menolong. Ketika mereka berpapasan di jalan dan cukup lama tidak bertemu, mereka menyapa dengan saling mendekatkan kepala. Cium pipi kiri, pipi kanan, hanya untuk sesama wanita.

Istanbul Turki
Menjelang malam, jalan-jalan di Istanbul seperti di Jakarta, macet.

Keramahan dan kehangatan orang Turki, juga saya dapat ketika diundang makan malam seorang wanita politikus Turki yang berlatarbelakang dokter. Namanya dr Hande Ozsan Bozatli. Ia President of Assembly of European Regions dan President of EU International Relations Commission Istanbul Provincial Council. Ia menjamu makan malam di Mosa Denis Kulubu 1935, club house dan restoran eksklusive yang dibangun Mustafa Kemal Ataturk di Kadikoy. Ia bersama suaminya yang juga dokter dan pernah liburan ke Bali, sangat antusias mengobrol.

“Saya pernah ke Bali ketika usai mengikuti konfrensi di Australia tahun 1999 lalu. Makanan Indonesia enak. Nikmati lah makanan-makanan Turki di sini,” ujar dr Hande Ozsan Bosatly dengan wajah berbinar-binar.

Di mana-mana, orang Turki mengobrol dengan hangat. Di pasar mereka juga mengobrol dengan hangat. Beberapa kali saya ikut ke pasar tradisional. Di sekitar tempat tinggal, ada pasar mingguan. Lokasinya berpindah-pindah setiap hari. Pasar itu menggunakan jalan yang telah disediakan pemerintah setempat, sehingga pasar itu sangat panjang. Belanja di pasar tradisional, sangat murah. Pakaian 10 Lira, 15 Lira. Buah-buahan pun sangat murah. Satu kilo 1 Lira (Rp5.500).

Istanbul Turki
Grand Bazar, pasar terbesar di Turki

 

Istanbul Turki
Souvenir model Darwis

Orang Turki juga suka menolong. Saya mengatakan mereka suka menolong karena seringkali ketika berada di Metro, saya melihat penumpang membantu penumpang lainnya yang membawa barang atau bawaan lainnya. Pernah juga, sepulang dari Kadikoy, salah satu distrik atau pusat kota di Istanbul sisi Asia, saya nyasar untuk pulang ke rumah.

Pasalnya jalan dan rumah-rumah apartemen hampir sama bentuknya. Saat bertanya ke seorang pemuda, ia mau mengantar saya pulang dan menelpon tuan rumah untuk menjemput. Ia menelpon Beytullah karena tak fasih berbahasa Inggris. Di Istanbul, Turki, meski masuk Eropa, tidak jamak menemukan warga yang bisa bahasa Inggris.

Tetapi gaya hidup dan penampilan sebagian orang Turki banyak juga yang condong ke Eropa. Terutama di Istanbul sisi Eropa. Meski demikian, mereka tetap lebih suka dan bangga dengan produk lokal. Mereka suka pakai sepatu, kemeja, hem dan jas. Meski hanya untuk beli susu di supermarket dekat rumah, mereka tetap pakai sepatu. Sandal hanya dipakai di rumah atau ke toilet. Anak-anak sekolah juga mengenakan hem atau jaket pada musim dingin ke sekolah.

Yeni Camii
Yeni Camii

Sekolah di Turki juga menerapkan sistem shift pagi dan siang. Anak-anak di sekolah dasar diantar dan dijemput orang tuanya ke sekolah dan pulang sekolah. Saya sekali mengantar Berat yang baru kelas tiga sekolah dasar ke sekolahnya yang tak jauh dari rumah. Mereka sekolah lima hari saja. Sabtu dan Minggu libur.

Pada hari-hari itu lah, anak-anak bebas bermain di sekitar rumah atau di jalan depan rumah sampe menjelang magrib. Sementara orang-orang dewasa pergi memancing. Spot paling ramai untuk memancing di kawasan Uskudar dan Jembatan Galata. (bersambung)

Istanbul Turki
Memancing di Uskudar

 

Istanbul Turki
Sunset di Kadikoy

(837)

19 Comments

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.